[caption caption="Klenteng Talang"][/caption]
Munculnya, nama Residen Poortman dalam misteri di di Jalan Talang No. 2 Kampung Keprabon RT.03 RW. 02 Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, semakin menguak rasa ingin tahu belum terungkapnya tabir papan tertulis garis keluarga Wali Songo yang masih memiliki darah Tionghoa. Di papan itu, Sunan Gunung Jati memiliki nama Tionghoa Toh A Bo, Sunan Kalijaga memiliki nama Tionghoa Gan Si Cang, Sunan Ampel memiliki nama Tionghoa Bong Swi Ho, Sunan Bonang memiliki nama Tionghoa Bong Ang, dan Raden Patah memiliki nama Tionghoa Jin Wen. Tentu tidak ada larangan untuk berpendapat bahwa garis keluarga Wali Songo yang masih memiliki darah Tionghoa. Papan itu, ada di Klenteng Talang sekarang.
Klenteng ini berada di sebelah utara berbatasan dengan rumah duka dan toko, sebelah timur di seberangnya berdiri kokoh bangunan Gedung BAT, salah satu benda cagar budaya (BCB) gedung eks pabrik rokok British American Tobacco (BAT), yang dibangun sekitar tahun 1917. Sebelah selatan berbatasan dengan Pabrik Bohlam PT NIRI dan Pabrik Karet, serta sebelah barat adalah pemukiman padat.
Syahdan, Residen Poortman dengan bantuan polisi pernah menggeledah Klenteng Talang. Menurut Berita Tionghoa dari Klenteng Talang diperoleh hasil, bahwa tahun 1415, Laksamana Haji Kung Wu Ping, keturunan dari Khonghucu mendirikan menara mercu suar di atas gunung bukit gunung jati. Dekat disitu, dibentuk pula masyarakat Tionghoa Islam bermazhab Hanafi di Sembung, Sarindil, dan Talang. Tahun 1450, masyarakat Tionghoa Islam bermazhab Hanafi mengalami kemerosotan karena putus hubungan dengan tanah Tiongkok. Masjid di Sarindil sudah menjadi tempat pertapaan. Masjid di Talang sudah menjadi klenteng. Sebaliknya, masyarakat Tionghoa Islam bermazhab Hanafi di Sembung sangat berkembang baik dalam agama Islam. Kisah ini dapat dibaca secara utuh di buku Prof Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, yang terbit tahun 1968. Namun, buku ini dilarang oleh Kejaksaan Agung tahun 1971 karena mengungkapkan hal-hal yang kontroversial waktu itu yakni sebagian Wali Songo berasal dari Tionghoa.
Dalam suasana Imlek 2567, bersama Ciu Kong Giok, di Klenteng Talang, Cirebon Kota, klenteng ini awalnya merupakan tempat persinggahan atau kantor perwakilan perdagangan Cina pada masa Cheng Ho. Tak sedikit orang menganggap, dulunya, Klenteng Talang ini bangunan masjid. Kelenteng ini satu-satunya yang berbeda dengan kelenteng lain di Cirebon. Tak ada ornamen naga di atas atap dan menghadap ke laut, tapi orang bisa melihat gong keemasan atau genta di ruang utama. ”Bukan masjid, tapi dulu anak buah Cheng Ho yang beragama Islam memang beribadah di sini,” ujar Ciu Kong Giok.
Menurutnya, kata “Talang”, berasal dari bahasa Cina, kata Toa Lang berarti “orang besar” atau “tuan besar”. Istilah ini ditujukan kepada tiga orang laksamana besar utusan Kaisar Ming yang mendarat di Cirebon pada abad ke-14, yaitu Cheng Ho (Cheng He), Fa Wan (Fa Xien), dan Khung Wu Fung, yang semuanya beragama Islam.
Lebih lanjut, kata Ciu Kong Giok, klenteng Talang merupakan satu-satunya bangunan yang ada kala itu. Kedekatan Konghucu dan Islam juga diperkuat oleh bendahara Keraton Cirebon saat itu, Tan Sam Tjai Kong, yang sering berdoa di tempat itu. Nama menteri keuangan itu pun masih tertera di sebuah altar di rumah ibadah itu. Di atas altar itu tertera tulisan “Mengurus Keuangan dengan Jujur”.
[caption caption="Makam Tan Sam Tjai Kong atau Tumenggung Aria Wiracula, belakang Pasar Pagi Kota Cirebon"]
Altar itu di sisi altar Nabi Konghucu (pendiri ajaran Konghucu) yang dilengkapi tulisan “Kebajikannya Manunggal dengan Langit dan Bumi”. Selain itu, pun ada ikatan antara agama Konghucu dan Islam masih tetap hingga sekarang. Jika datang di siang hari, setidaknya pengunjung bisa menikmati lukisan indah pada pagar dinding di sisi kiri. Lukisan pertama bercerita tentang Nabi Konghucu yang sedang mengajar para pengikutnya. Lukisan kedua adalah cerita keperkasaan Jenderal Kwan Tee Kun yang patungnya juga ada di dalam Klenteng Talang.
Jika ditelisik, mengapa Residen Poortman melakukan penggeledahan? Oleh sebab, pada mulanya, tahun 1914-1918 Residen Poortman belajar bahasa Tionghoa, dan pada tahun 1928, ia ditugasi pemerintah kolonial, seperti dinyatakan sejarawan Asvi Warman Adam, dalam artikelnya bertajuk Babad Tionghoa Muslim. Residen Poortman menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Tionghoa. Raden Patah bergelar Penembahan Jimbun dalam Serat Kanda dan Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Kata ''jin bun'' dalam salah satu dialek Cina berarti orang kuat. Ia berhasil mendapatkan akses ke dokumen-dokumen berbahasa Tionghoa.
Catatan itu, sesungguhnya bermula dari hasil karya Mangaraja Onggang Parlindungan berjudul Tuanku Rao, yang diterbitkan oleh LKIS Yogyakarta. Menariknya, dokumen yang digunakan Mangaraja Onggang Parlindungan adalah warisan dari ayah kandungnya, Sutan Martua Raja Siregar, cucu Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Lelo. Gaya tulisan story telling style yang sebenarnya ditujukan kepada anak-anaknya, kontroversial dan perdebatan masih menyertainya hingga kini. Buku yang diperkaya dengan 34 lampiran, salah satunya berisi dokumen Klenteng Sam Po Kong, Semarang, hasil penyelidikan Residen Poortman, prestasi kesejarahan yang telah dicapai Mangaraja Onggang Parlindungan lewat buku setebal 691 halaman ini sayang jika dilupakan.