Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur masih potensial menjadi basis atau persinggahan teroris. DKI Jakarta menjadi wilayah sasaran utama aksi terorisme. Demikian pernyataan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Mayjen TNI Syafnil Armen yang saya kutip dari kliping koran Sindo edisi 12 Agustus 2009. Banyak kalangan masyarakat yang penasaran, mengapa setelah serangan aksi kelompok bersenjata di Jalan MH. Thmarin, Jakarta, Pasukan gabungan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror, satuan tugas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Kepolisian Resort Cirebon bergerak cepat mengejar para pelaku dan jaringannya. Hasilnya, 6 orang. Lima orang dari Kabupaten Cirebon, dan satu lagi dari Kabupaten Indramayu. Mereka yang diamankan diduga terkait jariangan Islamic State Iraq and Syiria (ISIS), dan mengetahui serangan ke area Gedung Sarinah
Siapa teroris Cirebon?
Jaringan teroris adalah suatu jala-jala atau susunan sel-sel khusus dalam suatu kelompok atau sindikat yang saling berkaitan dan berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, yang memiliki ikatan dan kesamaan visi, misi dan persepsi dimana bentuk jaringannya tidak dimunculkan secara transparan akan tetapi militan dalam menjalankan aktivitasnya. Kalimat yang saya garisbawahi dapat dilihat pagar bambu rumah terduga teroris di Cirebon terdapat tulisan Islamic State. Tentunya, sel-sel teroris yang merencanakan dan melaksanakan serangan sangat terkoordinasi dari tengah-tengah penduduk sipil harus diakui merupakan tantangan tersendiri. Fakta, para terduga teroris yang ditangkap dikenal sebagai orang yang tertutup.
Dari penelusuran, data terorisme tahun 2013, sasaran kelompok radikal adalah penegakan syariat Islam melalui aksi teror terhadap beberapa sudut;
1) budaya yaitu upaya terselubung dengan cara rutin memberikan pengajian dimana mereka tinggal. Fakta, Sunakim alias Afif, pelaku teror Jakarta aktif mengumpulkan orang di Karawang. Menurut Kepala Desa Duren, Abdul Halim, sejak 2008, Sunakim sering mengadakan pengajian bersama teman-temannya di Klari;
2) militer yaitu secara rutin dan tersembunyi kelompok-kelompok teroris ini sering melakukan latihan militer dalam meningkatkan kemampuan masing-masing personel. Fakta, Ahmad Muhazan nyantri bareng Noordin M Top di Pondok Pesantren Miftahul Huda, Kp Bungur, Desa Sukahaji, Kecamatan Ciasem, Subang. Camat Ciasem Dadang Darmawan, pesantren sering mengadakan latihan perang yang diikuti orang-orang luar daerah.
Dua sudut ini, para terduga teroris Cirebon adalah bagian jaringan teroris yang perlu mendapat atensi, (tentunya Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror, satuan tugas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Intelijen Negara (BIN) bersama TNI sudah mengantongi daftar jaringan teroris). Benar, saya sepakat bahwa intelijen Indonesia tidak bisa dikatakan kecolongan dalam aksi kelompok bersenjata di Jalan MH. Thmarin, Jakarta.
Tidak mungkin mendeteksi apa yang ada di dalam benak teroris. Dalam konteks ini, permasalahan bukan terletak terorisme an sich, melainkan mencoba melihat secara komprehensif proses dengan berbagai pertanyaan tanpa mengganggu penyidikan tugas Polri. Jika kelompok Jamaah Islamiyah sudah tidak memiliki jaringan karena tata kelola dan administrasi di tingkat atas, menengah, hingga para panglima dibawahnya sudah ditangkap. Menggelitik pernyataan, Pengamat militer, Salim Said mempertanyakan pernyataan Kapolda Metro Jaya, Irjen Tito Karnavian yang menyimpulkan pelaku teror bom dan penembakan di Jalan MH Thamrin berafiliasi dengan kelompok ISIS. "Semua teoris terbunuh, dari mana Kapolda mengambil kesimpulan kalau itu ISIS," ujar Salim dalam diskusi yang diselenggarakan Smart FM bersama Populi Center di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (16/1). Menurut Guru Besar di Universitas Pertahanan ini, kesimpulan Kapolda sifatnya spekulatif. Sebab, data yang digunakan Kapolda bahwa pelaku merupakan residivis kasus yang sama. Lantas, --siapa mereka peserta 'konser' ini?
Pertanyaan selanjutnya, apaka kita sedang menghadapi aktivitas 'kelompok teroris mini' yang bisa digunakan siapa saja untuk kepentingannya masing-masing. Bagi jurnalis dalam era banjirnya informasi yang melahirkan persaingan ketat dan terorisme adalah 'berita besar' membawa syahwat berbeda dengan perburuan berita rutin. Akhirnya, media massa berlaku sebagai intelijen sebab metodologi jurnalistik dan intelijen nyaris sama meski tak sedarah. Pembaca koran, pengunjung media online, penonton televisi, pendengar radio adalah komsumsi jurnalistik. Sedangkan, presiden dan pengambil kebijakan di lingkungan pemerintah adalah komsumsi intelijen.
Apalagi kita menghadapi masalah yang sama di hari ini, mengusut tuntas jaringan teroris dan melengkapi diri untuk menghadapi ancaman seragam di masa depan. Mengingat, Tandzim Al-Qaeda Indonesia untuk wilayah Poso yang kemudian berubah menjadi Mujahidin Indonesia Timur batalyon Abu Wardah gugus tugas Poso yang berbaiat kepada ISIS belum tertangkap, menyebarnya pesan 'jihad Aman Abdulrahman' di lapas Nusakambangan dan pesan Abu Bakar Ba'asyir yang sulit dibendung.