Tidak lebay jika saat ini disebut sebagai orde perang intelijen, dan perang jenis ini, merupakan perpanjangan orde Perang Dingin, paska Perang Dunia II. Hal ini, disebabkan pengaruh perubahan lingkungan strategis global, dimana satu sisi ideologi kapitalisme mendominasi perkembangan paska Perang Dingin. Informasi intelijen memberi arah bahwa intelijen asing sedang memainkan perang intelijen di berbagai dunia, khususnya negara-negara yang sedang menghadapi masa transisi. Intelijen Australia misalnya memainkan peranan strategis untuk kepentingan nasionalnya. Sebab, perang intelijen sangat efektif di zaman teknologi informasi, diantaranya propaganda.
Ambil contoh, Beredar 'Rencana Aksi Gelar Opsgal Papua' Berlogo Badan Intelijen Negara ? Seperti yang dilansir berbagai media massa, bahwa salah satu perusahaan media terbesar di Australia, Fairfax Media mendapatkan dokumen Badan Intelijen Negara (BIN) yang berisi informasi dan cara menekan sejumlah aktivis Papua, mahasiswa Papua di luar Papua, serta tokoh adat dan agama Papua yang menyuarakan kemerdekaan Papua. Bahkan, The Sidney Morning Herald, dalam laporan Indonesia's secret dossier to suppress Papuan independence movement , tampak dokumen tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, sama persis dengan aslinya, berbahasa Indonesia. Pemberitaan sejenis ini, kelompok perusahaan media terbesar di Australia, Fairfax Media, juga pernah menerbitkan sejumlah laporan terkait 19 dokumen milik Kopassus tentang Papua. Dalam laporan berjudul Independence at threat from enemy within mengungkapkan bahwa dokumen berjudul Anatomy of Papuan Separatists berisikan laporan analisis detail tentang anatomi gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka, orang-orang yang dicurigai memberikan dukungan dan simpatinya kepada Organisasi Papua Merdeka, daftar informan yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, birokrat, guru, tukang ojek, kepala suku, kepala desa, hingga petani, dan ditugasi untuk mengawasi orang-orang yang dicurigai oleh Kopassus. Bahkan, menurut Human Rights Watch, dokumen setebal 500 halaman, tertanggal 2006 hingga 2009, menyertakan laporan rinci tentang aksi mata-mata terhadap masyarakat sipil oleh militer Indonesia serta perspektif militer atas masalah sosial dan politik di Papua. Sebagian besar berasal dari Kopassus, elit tempur TNI, dan Kodam Cenderawasih di Jayapura, ibu kota provinsi Papua. Laporan itu berisi rapat internal, presentasi, alat pendidikan, dan produk-produkintelejen seperti laporan harian dan triwulan Kopassus, hingga dokumen status Papua di bawah hukum internasional. Dokumen terpisah menjelaskan operasi intelijen pada 2011, yang mengindikasikan aksi mata-mata terus berlanjut. “Dokumen Kopassus menunjukkan paranoid mendalam dari militer Indonesia di Papua yang menyingkap pandangan politik damai dianggap tindak pidana,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia dari Human Rights Watch.
Dalam konteks ini, ada dugaan bahwa intelijen asing melancarkan perang intelijen di Indonesia, salah satunya dalam bentuk propaganda dengan menggunakan dokumen semacam itu untuk kepentingan dan tujuan politik tertentu. Dugaan tanpa bukti ini, tentu perlu verifikasi lebih lanjut, sebab sulit membuktikannya, dan perang intelijen dilaksanakan secara clandestine.
Lalu, apa pesannya?
Pertama, dari 'dokumen berlogo Badan Intelijen Negara' yang mengklaim diri sebagai Rencana Aksi Opsgal Papua dan di keluarkan bulan Maret 2014, seolah dari Deputi-II KA BIN ini, tanpa nama. Tampak jelas, ada suatu bentuk operasi untuk menggiring opini berbagai kalangan dan pihak terkait akan menjadi sibuk, mengalami ketegangan politik, klarifikasi atas informasi beredarnya 'dokumen berlogo Badan Intelijen Negara' ini. Oleh karena, dokumen berjudul Anatomy of Papuan Separatists berawal dari media Australia, sangatlah politis bagi kepentingan luar negeri Australia di Kawasan Asia Pasifik. Tentunya, pola jurnalistik salah satu perusahaan media terbesar di Australia, Fairfax Media memiliki hubungan khusus dengan intelijen. Pola 'titip informasi' kepada media massa memberikan preferensi propaganda dan menarik perhatian publik dan 'terlalu biasa' bagi khalayak.
Kedua, menurut laman ini, sebagai salah satu perusahaan media terbesar di Australia dan Selandia Baru, Fairfax Media didirikan oleh keluarga Fairfax sebagai John Fairfax dan Sons, kemudian menjadi John Fairfax Holdings. Keluarga Fairfax kehilangan kendali perusahaan pada bulan Desember 1990. Kemudian, berganti nama dari John Fairfax Holdings menjadi Fairfax Media tahun 2007. Selanjutnya, tahun 2015, Fairfax Media membangun kemitraan dengan Huffington Post untuk meluncurkan HuffPost Australia. Terkait pemberitaan dokumen berjudul Anatomy of Papuan Separatists maupun Rencana Aksi Opsgal Papua yang di keluarkan Maret 2014 Deputi-II KA BIN memang belum ada kejelasan apakah Fairfax Media murni pendukung kebebasan memperoleh informasi atau sebuah umpan dengan sampul yang kukuh dan dukungan dari institusi intelijen yang berkepentingan. Lalu, apa landasannya, bahwa Fairfax Media sebagai alat propaganda? Cukup dicermati, siapa yang memiliki kepentingan atas isu yang terjadi di Papua, konflik antara pemerintah Indonesia dengan gerakan kemerdekaan? Padahal, isu tersebut kurang penting dibanding konflik lain, seperti sengketa tanah, perang antar suku, dan pertarungan di antara kekuasaan politik lokal. sebagaimana, laporan Crisis Group edisi 11 Maret 2010 berjudul Radikalisasi dan Dialog di Papua.
Ketiga, publikasi 'dokumen berlogo Badan Intelijen Negara' yang mengklaim diri sebagai Rencana Aksi Opsgal Papua dan di keluarkan bulan Maret 2014, seolah dari Deputi-II KA BIN ini, tanpa nama di media Australia. Ada kemungkinan untuk 'menggoyang' Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelijen Negara, menjadi semakin populer di mata publik Australia untuk kepentingan nasional Australia sendiri. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso saat bertemu masyarakat nelayan di Kampung Petrus Kayjen, Provinsi Papua, Kamis, mengatakan bahwa pemerintah sangat serius untuk membangun Tanah Papua. "Pembangunan perlu keamanan. Papua Barat jangan sampai diganggu keamanannya. Kalau daerah aman, maka pembangunan akan berjalan cepat," demikian Sutiyoso. Apalagi, beberapa hari lalu, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso membenarkan ada 10 anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Jakarta. "Baguslah. Ini seperti efek domino, seperti Din Minimi kan," ujar Sutiyoso, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (1/2).
Keempat, siapa yang untung dan siapa yang rugi? Indonesia untungkah dari publikasi dokumen rahasia yang dibocorkan di media Australia? Rasanya Indonesia justru akan sangat rugi jika sengaja membocorkan rahasianya bahkan secara strategis dapat membuat Australia semakin jauh dari sahabatnya, Indonesia di kawasan Asia.
artikel terkait: Beredar 'Rencana Aksi Gelar Opsgal Papua' Berlogo Badan Intelijen Negara ?
sumber foto disini