Â
Informasi yang telah beredar di media massa, terkait aliran dana teroris, disebutkan Kepala Polri Jenderal Pol Badrodin Haiti di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (16/1) bahwa  kelompok teroris kawasan Sarinah diduga mendapatkan dana dari Suriah. Menurut Badrodin, pengiriman dana dari Suriah itu tidak dilakukan dengan cara transfer, namun menggunakan jasa perusahaan barang, Western Union. Sementara, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ‎Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan adanya aliran dana untuk kegiatan teror di Indonesia yang datang dari Australia. Kendati demikian, aliran dana tersebut tidak terkait dengan teror bom yang terjadi di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, "Beberapa waktu lalu kami dapat info dari PPATK, ada aliran dana dari Australia, tapi bukan dalam konteks kejadian kemarin," katanya saat ditemui wartawan di Markas Polda Metro Jaya, Sabtu, (16/1). Setidaknya, informasi kedua pejabat ini, dapat dipercaya. Bahkan, Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mengungkapkan penggunaan perusahaan diduga sebagai modus pencucian uang. Agar tidak mencolok, dana yang didapatkan dari Timur Tengah dikirim ke rekening perusahaan. Pengiriman uang itu bisa mencapai miliaran rupiah. Perusahaan tersebut dibuat seolah-olah memiliki aktivitas dengan melakukan transaksi-transaksi bisnis. Sedangkan, Kepala BIN Sutiyoso menyebutkan pelaku teroris mendapatkan dana aksi teror dari luar negeri yang disamarkan untuk kegiatan keagamaan di Indonesia. Oleh sebab itu, pihak aparat kepolisian tak bisa mendeteksi aliran dana teroris.
Patut dicermati, kegiatan aksi terorisme selama ini, mulai dari persenjataan, transportasi, propaganda di media sosial berbentuk video, perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Darimana mereka mendapatkan dana tersebut? Kegiatan terorisme ISIS ini, sangat berbeda jika dibandingkan dengan kelompok teroris lain, yang membiayai sendiri melalui donatur. Sedangkan, ISIS mengontrol semua wilayah bagi pengikutnya dengan mengembangkan saluran pendapatan diversifikasi yang membuat ISIS tetap bertahan hingga kini. Melalui minyak, pajak, modus penculikan dengan tebusan, donatur, penjualan barang antik, bank Iraq, hasil penjarahan property, real estate, pertanian,  dan perdagangan manusia.
Biasanya, Amerika Serikat melacak, menghentikan dan memangkas dana aksi terorisme dengan sistem internasional. Sejak peristiwa 9/11, Amerika Serikat, negara-negara lain, dan organisasi internasional seperti IMF dan PBB telah menetapkan kebijakan mendeteksi dan menghentikan aliran dana ke teroris. Beberapa waktu lalu, para pemimpin anggota G20 menyerukan koordinasi lebih baik untuk menghentikan aliran dana terorisme, termasuk pertukaran informasi asset kelompok teroris.
Adapun perkiraan jumlah dana terorisme cenderung bervariasi dan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Namun, yang pasti jika salah satu kelompok dimatikan sumber pendanaannya maka mereka akan beralih ke wilayah lain untuk mendapatkan sumber dananya.
Â
Rujukan:
- Terrorist Finance Tracking Program (TFTP)
- Countering ISIL's Financing
- Islamic State Financing and U.S. Policy Approaches
- ISLAMIC STATE: THE ECONOMY-BASEDÂ TERRORIST FUNDING
- Laporan Bulan Oktober 2014, United Nations
- Why Private Gulf Financing for Syria’s Extremist Rebels Risks Igniting Sectarian Conflict at Home
- Terrorist Financing and the Islamic State
- U.S. Efforts to Counter the Financing of ISIL
- Islamic State Financing and U.S. Policy Approaches
- Extremists Now In Real Estate Business In Mosul
- A New Frontier: Human Trafficking and ISIS’s Recruitment of Women from the West
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H