Sarang Cenderawasih tidak terlahir begitu saja. Bagi Indonesia, tapal batas timur negara kesatuan memiliki arti penting, dan sejarah dengan politiknya tidak pernah membiarkan pulau Emas itu akut dalam amnesia kebangsaan. Pada tahun 1973, Pemerintah Republik Indonesia di West Papua merubah nama Irian Barat menjadi Irian Jaya. Nama Irian Jaya berakhir pada tanggal 31 Desember 1999, mendiang Gus Dur menggunakan baju presidennya untuk menggeser tata letak sejarah, nama Papua Barat terlahir kembali untuk yang kedua.
Seperti diketahui, Belanda sebagai negara penjajah yang kalah perang dunia II harus puas menenggak kecaman PBB, semua daerah jajahan harus dilepaskan. Tidak terhitung landasan pacu peradaban versi Belanda yang telah dibangun selama kurun waktu imperialisme dan kolonialisme. Setidaknya Papua memang sudah pernah dibawah kaki ratu Belanda.
Amerika dan sekutunya menabuh gong usainya perang dunia dengan meratakan Nagasaki-Hiroshima. Kontrol pemerintahan Belanda di Batavia yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi sudah kembali ke pangkuan ibu pertiwi, tetapi tidak dengan Papua, ia masih terikat dengan Hollandia (Jayapura). Klaim sejarah dalam versinya yang lain pernah menuliskan tentang pernahnya Papua merdeka. Kedaulatan Papua tersebut ditandai dengan dibentuknya Nieuw Guinea Raad (Dewan Papua) pada tanggal 25 Februari 1961.
Tercatat pada 5 April 1961 Dewan Papua mengawali kerja dan tugasnya. Adapun kewenangan Dewan Papua adalah hak petisi, interpelasi, dan menyampaikan nasihat. Belanda ketika itu menaruh harap untuk menjadikan Dewan Papua menjadi Komite Nasional Papua. Kemudian pada bulan Oktober 1961, melalui 70 orang Papua yang “terdidik” oleh Belanda, Komite Nasional Papua mengumumkan tiga manifesto kebangsaannya, yaitu: (1) Menentukan nama negara yaitu Papua Barat; (2) Menentukan lagu kebangsaan Papua yang berjudul Hai Tanah Papua; dan (3) Menentukan bendera nasional Papua yang dikenal sebagai Bintang Kejora.
Puncaknya pada tanggal 1 Desember 1961, bertempat di Hollandia (Jayapura) dideklarasikanlah kemerdekaan Papua, ditandai dengan mengibarkan Bintang Kejora. Semua itu terjadi atas restu pemerintahan Belanda.
Bukan kepalang, ketika itu Presiden Sukarno marah besar mendengar Belanda telah membentuk Negara Papua Barat. Bertempat di Yogyakarta pada 19 Desember 1961, bung Karno memaklumatkan Tiga Komando Rakyat (Trikora), isinya (1). Gagalkan Negara Papua Barat. (2). Kibarkan Sang Merah Putih ditanah Irian Barat. (3). Bersiap untuk mobilisasi.
Terkait dengan perebutan Irian Barat ke pangkuan pertiwi, presiden Soekarno melalui Jenderal A.H. Nasution sudah bersiap diri dengan pembelian alutsista besar-besaran ke Moskow setelah sebelumnya gagal menjalin kerjasama dengan Amerika. Pada tanggal 18 Januari 1962, awal dari operasi penyusupan dalam rangka pembebasan Irian memang gagal. Sebab pasukan penyusup dari satuan Brigade Mobil tidak dilindungi oleh Angkatan Laut, karena pada saat yang hampir bersamaan yaitu tanggal 15 Januari 1962, Angkatan Laut Republik Indonesia terlibat pertempuran sengit dengan Angkatan Laut Belanda di Laut Aru yang meninggalkan bekas perjuangan mendalam. Komodor Yos Sudarso yang memimpin Kapal Republik Indonesia (KRI) Macan Tutul menjadi saksi gugur atas kenangan sebuah perjuangan bangsa dalam mencapai kejayaan.
Menanggapi ketegasan Soekarno, dipastikan pemerintah Amerika Serikat tidak sedekap tangan. Hal itu terkait erat dengan ketidaksukaan Washington kepada Moskow atas kemungkinan laba besar yang akan didapat Rusia dari kemitraannya dengan Indonesia. Karena bagaimanapun juga, perseteruan antara blok barat dan blok timur adalah sebuah saksi betapa kuatnya semangat menaklukan di jaman itu.
Lantas Amerika melalui duta besarnya di PBB, Elswort Bunker, mengusulkan proposal penentuan nasib Papua dibawah pengawasan PBB. Lobi berhasil, dan sejak itu praktis sepak terjang Belanda dalam “menyekap” Papua secara langsung harus terhenti seiring masuknya UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962. Dalam pemerintahan sementara PBB lewat UNTEA menetapkan dua nama bagi Papua, yaitu West New Guinea dan West Irian. Pada tanggal 1 Mei 1963 Republik Indonesia menggunakan nama Irian Barat.
Sejarah memiliki perkataan berbeda dalam sudut pandang mengenai keabsahan Perjanjian New York 1962, sebuah usulan Elswort Bunker untuk mengatasi kemelut kemerdekaan Papua. Namun toh di akhir 1969 melalui proses An Act of Free Choice Belanda mutlak tersingkir. Setelah apa yang disebut dalam pasal XXII Perjanjian New York diterapkan, yaitu pemberlakuan one man one vote. Penentuan Papua berdasar atas adu tanding diantara 800.000 rakyat Papua. Indonesia menjadi negara yang terpilih menjadi ibu pertiwi bagi rakyat Irian Barat.
Setelah Proklamasi kemerdekaan tanggal 1 Juli 1971, Pemerintah Revolusioner sementara Republik West Papua di Markas Victoria, menggunakan nama West Papua. Hingga pada akhirnya pada tahun 1973, Pemerintah Republik Indonesia di West Papua merubah nama Irian Barat menjadi Irian Jaya.
Tentang nama Irian, tokoh seperti Frans Kaisiepo adalah orang pertama yang mengumumkan tentang arti pentingya nama Irian pada saat konferensi Malino-Ujung Pandang pada tahun 1945.
Bukan hanya sekedar nama dalam sejarah, namun adalah sejarah sebuah nama. Ada pesan politik dan strategi kemerdekaan disana. Betapa tidak, Irian bukan sekedar pembeda dari Papua, melainkan satu bukti cita-cita perjuangan. Irian berarti “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. Beberapa sumber menyebutkan bahwa penemu nama Irian adalah seorang Jawa bernama Soegoro. Ia adalah juga bekas penghuni Digul-Atas yang pada akhirnya dibebaskan setelah Perang Dunia II selesai. Ia pun pernah menjabat Direktur Sekolah Pendidikan Administrasi pemerintahan di Hollandia (Jayapura) antara tahun 1945-1946.
Pergantian nama dari Irian Barat menjadi Irian Jaya pun juga tidak lepas dari kecerdasan masa lalu dalam mempelajari sejarah dunia. Ketidakinginan munculnya dua Papua seperti Jerman-Barat dan Timur, atau Vietnam-Selatan dan Utara, Korea-Selatan dan Utara. Didasari kemauan atas pembebasan yang mutlak melahirkan ide perspektif bahwa Irian harus dimenangkan atau victoria. Bahkan rumor sejarah pernah menyebutkan adanya gagasan jika huruf “Y” dipotong kakinya akan terbaca Irian Java, alias Irian Jawa.
Dalam perjalanannya hingga sekarang, apa yang disebut sebagai Papua memang masih memiliki pengaruh besar bagi sesuatu yang dinamai perjuangan pembebasan. Tekad yang tersembunyi selama ini, setelah hampir empat dasawarsa setelah hasil Pepera diumumkan. Seperti halnya yang terjadi pada tanggal 20 Agustus 2011, ketika Beny Wenda melalui sambungan telepon dari Oxford Inggris urun bicara saat berlangsung pengumuman hasil konferensi Internasional Lawyers for West Papua (ILWP) di Makam Theys, Sentani Jayapura.
Dalam himbauannya, Wenda tersirat secara lantang “menegur” bangsa Indonesia agar mengakui kedaulatan Bangsa Papua. Bagi Wenda, hasil Pepera 1969 adalah cacat hukum. Cerita itu memang bukan barang baru dalam sengketa kedaulatan Papua. Karena seperti diketahui, kemerdekaan Papua bukan hanya berarti politik dan geografis, melainkan kemenangan sumber daya. Perebutan sumber energi menjadi pemicu utama. Semua negara bertarung merebut Papua, dan Pemerintah Indonesia harus rela menjadi tuan rumah yang lemah.
Sebagian besar masyarakat Indonesia yang faham strategi geopolitik akan bersuara sama ketika mendiskusikan Papua, kebutuhan pemimpin yang tegas tidak bisa ditunda lebih lama. Hal itu bukan tanpa alasan, ketika warga bangsa mulai sadar dengan carut marut Papua, mereka harus puas dengan cerita sengketa lahan tambang.
Lantas muncullah satu gagasan pertanyaan hasil dari sebuah analisa strategis, tentang simpang siurnya tujuan kemerdekaan yang banyak dijanjikan oleh negara pengincar energi melalui seratusan lebih LSM yang menjadi underbow untuk rajin menggosok kemarahan warga Papua terhadap Jakarta. Peredaran LSM di Papua nyaris tidak bisa lagi dikenali dengan seksama. Karena begitu banyak dan multi tendensi. Dari logo hak asasi, kemanusiaan, hingga sampai pada penguatan iman. Namun semua itu mengerucut pada satu arah yang sama, Emas dan energi.
Sejak Freeport teken kontrak karya dengan pemerintah RI pada tahun 1967 ada kerinduan dan ekspektasi besar dari masyarakat Papua atas kondisi yang sejuk dan kondusif. Seiring harapannya, rakyat Papua harus sadar dengan berbagai kepentingan asing yang turut mengalir membonceng diatasnya . Tidak terhitung ribuan peristiwa ganjil terus bergulir. Seperti dikabarkan, pada hari Rabu (20/6) sekonyong-konyong Olav F Tveit, seorang pendeta yang juga sekjen Delegasi Dewan Gereja se-Dunia mendatangi pemerintah provinsi Papua.
Berbagai alasan klise tentang kemanusiaan mencoba dirakit sebagai jembatan penyampai misi yang sesungguhnya. Tveit kepada media melalui asisten II bidang ekonomi dan pembangunan sekda Papua, Elly Loupatty menjelaskan bahwa kedatangannya guna untuk meminta kejelasan tentang masalah keadilan, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat di Papua. Tentu saja hal ini membuat risih Jakarta. Sebab bukti kedaulatan sebuah bangsa adalah ketika negara tetap tegap sebagai orang pertama yang menjadi curahan derita rakyat. Dan hal itu memang jarang terjadi di Papua.
Tewasnya Mako Tabuni pada hari Kamis (14/6) dari KNKB (Komite Nasional Papua Barat) bukanlah hal yang mengejutkan jika dilihat dari catatan sejarah yang sudah ada. Masih kuat dalam ingatan ketika Zeth Giya, Ketua KNPB Wilayah Nabire mengeluarkan statement politik yang menjadi sumbu ledak demonstrasi rakyat Papua terhadap Indonesia. Aksi rakyat Papua ketika itu merupakan bentuk dukungan peluncuran IPWP dan ILWP. Giya menyatakan bahwa rakyat Papua Barat mendukung penuh peluncuran IPWP dan ILWP di Amerika mulai 3-5 April 2009.
Massa yang melimpah ruah ketika itu melebihi aksi massa sebelumnya, ketika terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora di Nabire pada tahun 2001. Sejarah juga mencatat bahwa pada 1 Desember 1999, saat berlangsung peringatan hari “kemerdekaan” Papua versi kerajaan Belanda yaitu tanggal 1 Desember 1961. Panas dan sesak, hampir sekitar 2000 orang Papua dari berbagai suku mengibarkan bendera Bintang Kejora di halaman gereja Katolik Paroki Tiga Raja-Timika .
Dipimpin oleh Theys H. Eluay, Ketua Dewan Adat Irian Jaya dan Yoris Raweyai yang merupakan salah satu tokoh Pemuda Pancasila menyerukan kepada semua rakyat Papua Barat untuk secara serempak mengibarkan Bintang Kejora pada tanggal 1 Desember 1999 di seluruh Papua Barat. Yoris menyambung seruannya itu dengan janji melakukan pertemuan dengan perdana menteri Belanda untuk menyampaikan aspirasi rakyat Papua. Namun fakta sejarah membuktikan bahwa janji Yoris terhadap rakyat Papua hanya isapan jempol yang membingungkan, tidak ada pertemuan apapun antara Dewan Adat Papua dengan pemerintah Belanda.
Dalam sengketa Papua, ILWP memang bukan barang baru, namun menjadi penting ketika ILWP berkembang dan mengambil tempat di Inggris. Ketika itu 12 Oktober 2011, ILWP bagian Inggris resmi memiliki kantor di London. Seperti diketahui ILWP adalah jaringan internasional dari pengacara yang telah dibentuk untuk meningkatkan kesadaran tentang Papua Barat dan untuk menyajikan kasus hukum bahwa Papua Barat memiliki hak untuk menentukan Nasib Sendiri di bawah Hukum Internasional.
Bukan main, Finers Stephens Innocent LLP 179 Portland Street London yang menjadi tempat peluncuran ILWP bagian Inggris sempat menyedot perhatian dunia. Hadir dalam acara itu Jennifer Robinson, anggota ILWP dan pengacara Hak Asasi Manusia ; Benny Wenda, Pemimpin kemerdekaan Papua Barat di pengasingan ; Geoffrey Robertson QC, Ahli fikih PBB, Mantan Hakim Banding di Pengadilan Sierra Leone PBB dan Pengacara Hak Asasi Manusia; Mark Stephens, pengacara hak asasi manusia terkemuka ; John Saltford, Sejarawan dan ahli tentang Act of Free Choice 1969 dan keterlibatan PBB di Papua Barat ; serta anggota parlemen pendukung International Parliamentarians for West Papua (IPWP).
Tidak tanggung yang dibahas dalam launching itu adalah proses dan pengujian terhadap penguatan materi gugatan secara kongkrit dan objektif sebagai bahan persiapan gugatan International Court of Justice ( ICJ)/ Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Keberanian imperialisme modern seperti itu memang telah mendapatkan angin segar sebelumnya, yakni ketika berlangsungnya Pasific Island Forum, atau Forum Negara-Negara Pasifik pada tanggal 7-8 September 2011 di Auckland-Selandia Baru.
Tanpa sungkan terhadap rakyat dan pemerintah Indonesia, sekjen PBB, Ban Kimoon menegaskan bahwa masalah Papua Barat harus dibicarakan dalam komite dekolonisasi Majelis Umum PBB. Ban Kimoon ngotot bahwa penegakan hak asasi di Papua Barat dalam hal penentuan Papua sebagai pemerintahan yang merdeka, ataukah sebagai teritorial tanpa pemerintahan harus ditegakkan sesuai prinsip dasar PBB. Pernyataan sekjen PBB ini tentu saja dapat diartikan bahwa Indonesia “tidak lagi” memiliki Papua. Sekali lagi wajah ibu pertiwi tercoreng moreng di dunia internasional. Hal itu merupakan satu diantara perlunya pemimpin nasional yang tegas untuk mengikis habis benih neo imperialisme yang semakin kasar menggasak kekayaan alam Indonesia.
Kiranya warga Papua di seluruh dunia dan bangsa Indonesia seluruhnya harus mengingatkan dirinya akan satu hal penting dalam bundel sejarah Papua. Ketika pada tanggal 14 Januari 1963 di Kotabaru, delegasi yang dipimpin oleh 18 pemimpin rakyat Papua menyampaikan suatu pernyataan kepada Administrator UNTEA, Dr. Djalal Abdoh. Sebuah pernyataan sikap tegas yang berisi: Kami Rakyat Irian Barat dengan ini menyatakan: 1. Menuntut perpendekan pemerintahan UNTEA ; 2. Menggabung segera kepada Republik Indonesia secara mutlak dan tanpa Syarat; 3. Setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945; 4. Menghendaki adanya Negara Kesatuan yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke ; 5. Menghendaki Otonomi yang seluas-luasnya dalam Republik Indonesia bagi wilayah Irian Barat.
Beberapa anggota OPM seperti Filep Karma, Buchtar Tabuni, Elieser Elies Awom, Septhinus Martinus Paiki, Alberth Sepnat Kaliele, Simon Moso memang sudah mendekam di bui, namun sejumlah pemerhati masih menyangkan tentang keberadaan Beny Wenda di London, Herman Wanggai di Australia, Tuan Andy Ayamiseba di Vanuatu, dan sejumlah orang Papua lain yang menjadi satelit kapitalisme di negeri Belanda semisal Vanimo dan lain-lain masih bebas berkeliaran menyusun kampanye anti Indonesia. Tentu saja urusan yuridiksi selalu menjadi alasan diberlakukannya suaka politik oleh negara-negara yang menghendaki runtuhnya geografis dan sumber daya alam NKRI.
Keberadaan kontrak karya Freeport masih menjadi center point perdebatan kebijakan yang terus meluas. Sengketa Papua memang selalu menjadi sumber ATM bagi beberapa korporasi media dan LSM yang tidak lagi memegang prinsip kedaulatan berbangsa dan bernegara. Alih tugas pengamanan ketertiban Papua dari militer ke polisi juga mencuatkan masalah tersendiri. Peran TNI yang kian beku dan seolah memang sengaja dimasukkan kotak kian memicu malapetaka baru. Sistem pertahanan Indonesia seakan dibikin lumpuh.