Ia didirikan untuk melawan pengaruh mesin politik Partai Komunis Indonesia. Melalui tangan dingin Letkol Suhardiman, 'dukun politik', kekuatan pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan berkumpul dalam tubuh Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).Â
Dalam babadnya, partai politik yang berdiri di akhir masa Bung Karno, dukungan TNI Angkatan Darat, tepatnya 20 Oktober 1964 ini, resmi didirikan. Melalui keputusan bersama, 4 Februari 1970, Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) ikut menjadi peserta Pemilu dengan nama Golongan Karya (GOLKAR). Sejak Pemilu 1971, tanda gambar dan nama ini, bertahan hingga sekarang.Â
Namun, selepas lebih dari dua tahun, Partai Golkar, mesin politik terbesar kedua di negara ini, ngadat. Para teknisi mesin belum berhasil menemukan upaya mendamaikan dua kubu yang bertikai. Sampai hari ini, pergesekan internal di tubuh kelompok politik didikan Orde Baru ini, semakin mendekati 'turun mesin'. Tidak hanya memiliki kesenjangan biaya pesta mahal untuk target memenangkan setengah dari kursi kepala daerah dipertaruhkan dalam pemilu lokal bulan lalu, bahkan menjadi bahan tertawaan dengan sebuah laporan beritaÂ
Kedua belah pihak saling menyalahkan tanpa rasa malu, mengingat dalam babadnya di masa lalu, tidak pernah terjadi partai yang berkuasa selama hampir 30 tahun ini, kekurangan sumber daya keuangan. Namun, fakta di hari ini, sebagai jaringan terbesar dan organisasi terbaik, tunggakan listrik dan gaji pegawai, mereka kesulitan.
Gulung tikar Golkar karena persoalan tagihan listrik dan upah pegawai menjadi patron terburuk. Para elit tidak bisa memandang remeh permasalahan ini, sebab bagaimana mereka akan mengatasi masalah kritis sengketa internal dan ancaman disintegrasi partai, jika mereka telah gagal untuk menangani pekerjaan rutin seperti membayar tagihan listrik dan gaji bulanan?
Sebagai organisasi yang mapan, suka atau tidak suka. Golkar adalah karakter bagi partai-partai politik lainnya terutama dalam mengelola konflik internal. Ia adalah sajian utama fakta buruk kegagalan elit partai untuk berlatih demokrasi, yang berlandaskan nilai-nilai dasar negara, dan kualitas musyawarah untuk mencari konsensus daripada penggunaan kekuasaan.
Hakikat dari sengketa internal partai berlogo pohon beringin ini, lebih bersifat politis daripada hukum. Tampak jelas, mengapa putusan pengadilan tidak dapat memberikan resep 'jalan keluar' faksionalisme partai. Putusan pengadilan hanya untuk memperpanjang pertarungan pihak yang kalah, dan 'menantang kembali' oleh sebab kekalahannya.
Spekulasi tersebar luas bahwa faksi di bawah Agung Laksono, klaim atas kepengurusan Golkar di bawah Agung Laksono, ditolak oleh Mahkamah Agung, dan akan membentuk partai baru. Setelah kehilangan seluruh langkah hukum untuk mengalahkan faksi Aburizal Bakrie. Meskipun pembicaraan rekonsiliasi yang sedang berlangsung tetap tidak bisa menemukan jalan keluar, buntu.
Satu-satunya pilihan yang tersisa bagi kedua belah pihak adalah membuat 'peluang tak terbatas' untuk berdialog dalam rangka mempertahankan keutuhan partai. Defisit kepercayaan publik sejak pilkada Desember membutuhkan kedua belah pihak berkumpul, merebut kembali kepercayaan masyarakat. Apakah upaya membentuk penciptaan masa transisi dari eksekutif atau organisasi kongres adalah hanya soal teknis.
Pilihan terbaik bagi pemerintah adalah mendorong Golkar untuk menyelesaikan urusan internal dengan sendirinya.