Minat masyarakat Indonesia terhadap pakaian impor masih cukup tinggi. Berkunjunglah ke sejumlah tempat seperti Pasar Senen di Jakarta atau Pasar Cimol Gedebage di Bandung. Kedua pasar yang menjadi etalase pakaian impor ini tak pernah sepi konsumen.Â
Perdagangan pakaian bekas dunia telah tumbuh secara signifikan. Statistik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa nilai perdagangan pakaian bekas dunia meningkat dengan cepat dari $1,8 miliar pada tahun 2006 menjadi $3,7 miliar pada tahun 2016, meningkat sebesar 106 persen.Â
Antara tahun 2006 dan 2016 saja, nilai perdagangan pakaian bekas dunia tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) 7,6 persen, yang hampir dua kali lipat laju CAGR 3,4 persen untuk perdagangan pakaian baru selama periode yang sama.
Arus perdagangan pakaian bekas dunia sangat tidak seimbang. Di satu sisi, ekonomi maju adalah pemasok dominan pakaian bekas ke dunia. Pada tahun 2016, hampir 40 persen ekspor pakaian bekas dunia berasal dari tiga negara saja: Amerika Serikat (15 persen), Inggris (13 persen) dan Jerman (11 persen).Â
Data juga menunjukkan bahwa Uni Eropa dan Amerika Serikat bersama-sama menyumbang sebanyak 65 persen dari nilai ekspor pakaian dunia antara tahun 2006 dan 2016.Â
Negara lain yang patut disebutkan adalah China, yang dengan cepat menjadi pengekspor pakaian bekas terkemuka lainnya di Dunia. Pada tahun 2016, ekspor pakaian bekas Tiongkok mencapai US$218 juta dari hanya US$0,32 juta pada tahun 2006, meningkat lebih dari 684 persen!
Sebaliknya, sebagian besar ekspor pakaian bekas dunia akhirnya dijual di negara-negara berkembang, terutama negara-negara kurang berkembang. Misalnya, pada tahun 2016, Afrika Sub-Sahara (SSA) secara keseluruhan mengimpor sekitar 20 persen pakaian bekas dunia, jauh lebih banyak daripada wilayah lain mana pun di dunia.Â
Secara nilai, tiga besar importir individu pakaian bekas pada tahun 2016 juga semuanya adalah negara berkembang, yaitu Pakistan (6,0 persen), Malaysia (5,8 persen) dan Ukraina (4,9 persen).
Kebijakan perdagangan yang mengatur perdagangan pakaian bekas seringkali menimbulkan kontroversi.Sementara hambatan perdagangan pakaian baru menarik banyak perhatian publik, perdagangan pakaian bekas menghadapi berbagai jenis pembatasan yang lebih berat dan rumit.Â
Data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menunjukkan bahwa pada tahun 2016 rata-rata tarif yang diterapkan untuk impor pakaian bekas adalah 19,3 persen, lebih tinggi dari 15,4 persen pakaian baru.Â
Dari total 180 negara yang tercakup dalam basis data tarif WTO, 115 (atau 64 persen) menetapkan tingkat tarif yang sama atau lebih tinggi untuk pakaian bekas daripada yang baru.Â
Selain itu, tidak jarang terlihat tingkat tarif impor yang sangat tinggi dan pembatasan kuantitatif lainnya diterapkan pada perdagangan pakaian bekas. Misalnya, pada tahun 2016 tingkat tarif ekuivalen ad valorem yang paling disukai negara (MFN) yang diterapkan untuk pakaian bekas setinggi 356,9 persen di Uzbekistan, 167,3 persen di Zimbabwe, 149.
Bagaimana dengan Indonesia?
Data BPS, impor pakaian bekas di Indonesia melonjak sejak 2017 dan mencapai puncaknya tahun 2019 menjadi 392 ton.
Sempat turun drastis di masa pandemi, tetapi volume impor pakaian bekas kembali melambung sepanjang 2022 menjadi 26,22 ton. Namun, menurut Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios) Bhima Yudhistira, kenyataan di lapangan bisa lebih dari itu.
Pada tahun 2021, data BPS hanya 8 ton, namun jika merujuk pada situs Trade Map seperti dilansir Kompas, data ekspor pakaian bekas yang tercatat eksportir mencapai 27.420 ton.
Jepang, Australia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, Nigeria, China, India tercatat sebagai negara penyuplai pakaian bekas ke india.
Ada beberapa alasan mengapa orang Indonesia tertarik untuk membeli pakaian impor. Pertama tentu bermerek, kedua harga terjangkau daripada membeli baju baru. Dari segi kualitas, meski tidak semuanya bagus, kelihaian konsumen adalah memilah. Tapi rata-rata barang impor yang lolos sortir dan bermerk memang jauh lebih murah dibandingkan produk pakaian jadi lokal.
Hal ini tentunya cenderung mengancam industri pakaian dalam negeri. Sebanyak 432 ribu ton atau 22,73 persen dari total konsumsi pakaian dan barang jadi industri lokal nasional telah bergeser menurut data dari Asosiasi Produsen Filamen dan Benang.
Sejumlah UMKM Â banting setir turut menjual produk pakaian impor karena margin lebih besar dan hemat tenaga kerja.
Larangan impor pakaian bekas sesungguhnya jelas tercatat dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Larangan Ekspor dan Larangan Impor. Pasal 2 ayat 3 menyebutkan barang yang dilarang impor antara lain tas bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.
Ada peraturan yang melarang namun faktanya yang beredar di toko online juga tidak kena sanksi. Yang diperlukan saat ini bukanlah tindakan simbolik dengan penyitaan atau pembakaran pakaian bekas impor, melainkan penertiban di lapangan dan sanksi bagi importir. Â
Yang terpenting, konsumen juga perlu diedukasi bahwa jual beli pakaian bekas impor lebih merugikan. Tidak tepat menggunakan pakaian impor bekas sebagai cara untuk menjaga lingkungan.
Sekali lagi, karena faktor sosial, ekonomi, dan politik yang rumit, bagaimana mengatur dan mengelola perdagangan pakaian bekas tetap menjadi tantangan utama yang dihadapi masyarakat Indonesia maupun dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H