Selain itu, tidak jarang terlihat tingkat tarif impor yang sangat tinggi dan pembatasan kuantitatif lainnya diterapkan pada perdagangan pakaian bekas. Misalnya, pada tahun 2016 tingkat tarif ekuivalen ad valorem yang paling disukai negara (MFN) yang diterapkan untuk pakaian bekas setinggi 356,9 persen di Uzbekistan, 167,3 persen di Zimbabwe, 149.
Bagaimana dengan Indonesia?
Data BPS, impor pakaian bekas di Indonesia melonjak sejak 2017 dan mencapai puncaknya tahun 2019 menjadi 392 ton.
Sempat turun drastis di masa pandemi, tetapi volume impor pakaian bekas kembali melambung sepanjang 2022 menjadi 26,22 ton. Namun, menurut Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios) Bhima Yudhistira, kenyataan di lapangan bisa lebih dari itu.
Pada tahun 2021, data BPS hanya 8 ton, namun jika merujuk pada situs Trade Map seperti dilansir Kompas, data ekspor pakaian bekas yang tercatat eksportir mencapai 27.420 ton.
Jepang, Australia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, Nigeria, China, India tercatat sebagai negara penyuplai pakaian bekas ke india.
Ada beberapa alasan mengapa orang Indonesia tertarik untuk membeli pakaian impor. Pertama tentu bermerek, kedua harga terjangkau daripada membeli baju baru. Dari segi kualitas, meski tidak semuanya bagus, kelihaian konsumen adalah memilah. Tapi rata-rata barang impor yang lolos sortir dan bermerk memang jauh lebih murah dibandingkan produk pakaian jadi lokal.
Hal ini tentunya cenderung mengancam industri pakaian dalam negeri. Sebanyak 432 ribu ton atau 22,73 persen dari total konsumsi pakaian dan barang jadi industri lokal nasional telah bergeser menurut data dari Asosiasi Produsen Filamen dan Benang.
Sejumlah UMKM Â banting setir turut menjual produk pakaian impor karena margin lebih besar dan hemat tenaga kerja.
Larangan impor pakaian bekas sesungguhnya jelas tercatat dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Larangan Ekspor dan Larangan Impor. Pasal 2 ayat 3 menyebutkan barang yang dilarang impor antara lain tas bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.
Ada peraturan yang melarang namun faktanya yang beredar di toko online juga tidak kena sanksi. Yang diperlukan saat ini bukanlah tindakan simbolik dengan penyitaan atau pembakaran pakaian bekas impor, melainkan penertiban di lapangan dan sanksi bagi importir. Â