Enam tahun lalu sejak Wayan Mirna Salihin berteriak "Rasanya tidak enak" setelah menenggak es kopi Vietnam di Olivier Cafe Jakarta, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam perjalanan ke RS Abdi Waluyo sekitar pukul 18.00 WIB.
Insiden itu pasti mengejutkan pelanggan kafe berkelas di kawasan pusat bisnis Jakarta karena membayar Rp 48 ribu.-sesuatu untuk minuman --- di negara di mana segelas kopi biasa di warung pinggir jalan harganya sekisar Rp5 ribu. --- setidaknya harus memastikan standar kebersihan yang dapat diterima.
Salah satu dari dua temannya di tempat kejadian, Jessica Kumala Wongso yang berusia 27 tahun, segera ditangkap dan didakwa melakukan pembunuhan --- dituduh membumbui kopi temannya dengan sianida. Meskipun tidak ada motif yang jelas atau bukti forensik yang meyakinkan, Jessica dinyatakan bersalah pada 27 Oktober dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.
"Kasus kopi sianida" memukau media baik dalam maupun luar, dengan sidang pengadilan yang disiarkan langsung di televisi dan tayangan ulang malam berikutnya menghasilkan peringkat tinggi. Ini juga telah mempolarisasi publik, membaginya menurut garis kelas, dengan para pencela dan pendukung Jessica bentrok di media sosial.
Profil media, Jessica digambarkan sebagai wanita kelas atas yang cerdas, berpendidikan asing, dan menyendiri membuatnya berperan sebagai korban dan penjahat bagi audiens yang berbeda. Bagi kelas menengah perkotaan, ia adalah wanita yang berjuang untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Bagi orang Indonesia yang berekonomi lemah, ia adalah bocah manja yang mencoba lolos dari pembunuhan berkat kekayaan dan status keluarganya --- dengan bantuan asing.
Kelas urban kaya Indonesia sebagian besar yakin bahwa Jessica adalah korban yang tidak bersalah dari sistem hukum yang tidak kompeten. Tapi itu hanya sekitar 18 persen orang di negara, yang sebagian besar penduduknya hidup dengan kurang dari Rp 50 ribu sehari. Dunia yang didiami Jessica --- salah satunya menyeruput kopi di kafe berkelas, perjalanan dan pendidikan asing, dan hak istimewa kasual --- hampir fiktif bagi sebagian besar orang Indonesia.
Bagi orang-orang ini, Jessica tampak lebih seperti penjahat jutawan dalam sinetron - sinetron yang sangat populer di negara ini , teledrama melodramatis yang membentuk sebagian besar kebiasaan menonton orang Indonesia.
Bagi para pendukung Jessica, persidangan itu adalah lelucon, dengan tuntutan bukti yang tidak dapat dipertahankan dengan alasan yang salah. Mereka memberikan kepercayaan pada kesaksian ahli bahwa otopsi tidak lengkap menunjukkan sedikit tanda-tanda keracunan sianida, dan bahwa kematian Mirna Wayan Salihin bisa jadi karena penyebab alami. Penuntut, bagaimanapun, mengklaim bahwa pengaruh "anehnya" wanita muda - yang menggemakan tuntutan keliru lainnya seperti kasus Amanda Knox di Italia - adalah bukti kesalahannya.
Pendukung Jessica mengolok-olok betapa amatir dan tidak canggihnya jaksa penuntut selama sesi pengadilan.
Salah satu contoh yang viral di media sosial adalah ketika Jaksa penuntut umum yang menangani kasus Jessica Kumala Wongso melontarkan pertanyaan menggelitik. Salah satu tim jaksa Sugih Carvalho menanyakan ke Jessica minuman yang dipesan Wayan Mirna Salihan, "Apakah es kopi Vietnam panas atau dingin?" Jessica yang ramah tamah dengan bingung menatapnya dan bertanya, "Menurut Anda?"
Orang Indonesia yang berpendidikan umumnya melihat sistem peradilan sebagai parsial, korup yang merajalela, dan rentan untuk diutak-atik oleh yang berkuasa. Bahwa hakim dan jaksa sering menerima suap kurang lebih sudah menjadi rahasia umum di Indonesia.