Teknologi energi bersih seperti turbin angin, panel surya, dan kendaraan listrik berkembang sangat pesat sehingga penggunaan bahan bakar fosil secara global kini diperkirakan mencapai puncaknya pada pertengahan 2020-an dan kemudian mulai menurun. Transisi dari batu bara, minyak dan gas alam masih belum terjadi cukup cepat untuk menghindari tingkat pemanasan global yang berbahaya, setidaknya tanpa kecuali pemerintah mengambil tindakan yang lebih kuat untuk mengurangi karbon pemanasan bumi. Emisi dioksida selama beberapa tahun ke depan.
Badan Energi Internasional mengeluarkan World Energy Outlook 2021, laporan setebal 386 halaman itu memperkirakan tren energi global hingga 2050, muncul hanya beberapa minggu sebelum para pemimpin dunia berkumpul untuk pertemuan puncak iklim PBB di Glasgow untuk membahas cara mempercepat peralihan dari bahan bakar fosil dan mencegah tingkat pemanasan global yang berbahaya.
Artikel berjudul Indonesia Kaya dengan Sumber Gas Alam, Mengapa Harga LPG Naik Terus? Apa Solusinya? karya Rudy Subagio, Sabtu (1/1), bahwa benar Indonesia kaya  dengan sumber gas alam. Mengutip rilis Pertamina Menilik Kekayaan Gas Alam Indonesia Sebagai Salah Satu Tumpuan Kebutuhan Energi Masyarakat Indonesia, Indonesia telah memanfaatkan sumber gas alam sejak tahun 1960-an, ketika produksi gas alam dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia di Pendopo, Sumatra Selatan, dikirim melalui pipa gas ke pabrik pupuk Pusri I-A milik PT Pupuk Sriwidjaja di Palembang. Perkembangan pemanfaatan gas alam di Indonesia meningkat pesat sejak 1974, di mana Pertamina mulai memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di Prabumulih, Sumatra Selatan, ke pabrik pupuk Pusri II, Pusri III dan Pusri IV di Palembang.
Pada waktu yang bersamaan, pada 1974, Pertamina juga memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di lepas pantai (offshore) Laut Jawa dan kawasan Cirebon untuk pabrik pupuk dan industri menengah dan berat di kawasan Jawa Barat dan Cilegon, Banten. Pipa gas alam yang membentang dari kawasan Cirebon menuju Cilegon, Banten. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, gas alam di Indonesia juga di ekspor dalam bentuk LNG (liquified natural gas).
Fakta yang mengejutkan adalah pada tahun 2015 Indonesia termasuk 10 besar negara di dunia yang menghasilkan gas alam terbanyak. Selain itu, Indonesia juga menempati urutan ketiga untuk negara yang memiliki sumber cadangan gas alam terbesar di Asia Pasifik setelah Australia dan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun yang sama.
Berdasarkan data Kementerian ESDM yang dikutip dari buku Neraca Gas Indonesia 2018-2027, terungkap 3 skenario dan disesuaikan dengan kebutuhan per region, bukan nasional.Â
Skenario I:Â Neraca Gas Nasional diproyeksikan mengalami surplus gas pada tahun 2018-2027. Hal tersebut dikarenakan perhitungan proyeksi kebutuhan gas mengacu pada realisasi pemanfaatan gas bumi serta tidak diperpanjangnya kontrak-kontrak ekspor gas pipa/LNG untuk jangka panjang.
Skenario II:Â Neraca Gas Nasional diproyeksikan tetap surplus pada tahun 2018-2024. Sedangkan pada tahun 2025-2027 terdapat potensi dimana kebutuhan gas lebih besar daripada pasokan, namun hal tersebut belum mempertimbangkan adanya potensi pasokan gas dari penemuan cadangan baru dan kontrak gas di masa mendatang seperti blok Masela dan blok East Natuna.
Skenario III:Â Neraca Gas Nasional diproyeksikan surplus gas dari tahun 2019-2024. Sedangkan tahun 2018 tetap mencukupi sesuai realisasi dan rencana tahun berjalan. Sementara pada tahun 2025-2027, sebagaimana skenario II bahwa terdapat potensi dimana kebutuhan gas lebih besar daripada pasokan, namun hal tersebut belum mempertimbangkan adanya potensi pasokan gas dari penemuan cadangan baru dan kontrak gas di masa mendatang seperti blok Masela dan blok East Natuna.
Skenario 2, Indonesia mengalami surplus gas pada 2018-2024. Namun, mengalami defisit sejak 2025-2027 dampak dari  asumsi kebutuhan gas sektor listrik sesuai Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) 2018-2027. Penyebab defisit lainnya adalah penambahan industri retail sebesar 5,5%. Kemudian pelaksanaan proyek kilang, pembangunan pabrik baru petrokimia  dan pupuk sesuai jadwal. Defisit gas pada 2025 diperkirakan mencapai 206,5 mmscfd.