[caption caption="Pilgub DKI 2017 (ilustrasi www.viva.co.id)"][/caption] Jakarta adalah pusat pemerintahan/politik dan juga pusat ekonomi Indonesia. Berbeda dengan Amerika dimana pusat pemerintahan di Washington DC dan pusat ekonominya di New York atau Los Angeles. Atau Tiongkok dengan Beijing sebagai pusat politik dan Shanghai sebagai pusat ekonomi. Bercampurnya segala pusat ini itu di Jakarta membuat manusia-manusia Indonesia berlomba mengadu nasib ekonomi atau nasib politiknya ke Jakarta.
Jakarta adalah mitos. Jakarta sekaligus juga adalah bom waktu. Sedemikian besarnya magnet Jakarta sebagai kepusatan atas banyak hal, tidaklah heran jika menjadi Gubernur Jakarta menjadi incaran utama panggung politik. Pak Jokowi mundur dari Solo untuk menjadi Gubernur Jakarta tahun 2012 yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia di tahun 2014. Pak Ahok mundur dari anggota DPR untuk berpasangan dengan Pak Jokowi. Pak Alex Nurdin mundur sebagai Gubernur Sumsel, dan balik lagi ketika kalah. Tahun depan pak Ahok pun bersiap untuk pemilihan berikutnya. Demikian Kang Emil menyampaikan ide gagasan tentang beragam perkara, tentang Ibukota DKI Jakarta, tentang semangat perebutan kursi panas DKI 1, tentang perjalanannya menuju kursi Wali Kota, hingga alasannya tidak ikut pemilihan Gubernur Jakarta 2017, dalam Fanpage FB Ridwan Kamil.
Mengutip tulisan yang tebal, status Kang Emil tersebut, dapat dibayangkan, bukan? Tentunya, publik sudah terbiasa, memafhumi, memahami, mengerti dan mengetahui DKI Jakarta, bukan tidak mungkin, musim Pilkada DKI 2017, terjadi perang propaganda yang bising di berbagai media utama, media sosial, bahkan di Kompasiana. Perang propaganda menyandang nilai strategis mempengaruhi opini publik yang pada gilirannya berdampak positif atau negatif kepada para pihak yang berkepentingan di Ibukota negara.
Cara paling gampang untuk memahami terjadinya praktik propaganda adalah dengan mengikuti trend pemberitaan dan pengembangan opini, pemahaman substansi, dan pemisahan antara fakta dan opini dari suatu berita.
Dalam perang psikologi (psychological warfare) meliputi berbagai rencana yang digunakan untuk melakukan propaganda yang tujuan utamanya mempengaruhi opini, emosi, sikap dan perilaku agar bersimpati kepada pesan yang dilontarkan, agar berpihak kepada pelontar propaganda, atau agar membenci sasaran tembak propaganda. Disisi lain, disamping dapat digunakan untuk mempengaruhi opini, emosi, sikap dan perilaku kelompok sendiri dalam mendukung tujuan politiknya.
Dalam Ensiklopedia Internasional dirumuskan secara singkat bahwa “perang psikologi merupakan aplikasi dari psikologi dalam pelaksanaan suatu peperangan dengan tujuan untuk memperoleh kemenangan tanpa kekerasan” [Prof. Drs.Onong Uchjana Effendy,MA; Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek; PT.Remaja, 1997]. Kegiatan yang biasa dilakukan dalam psycological warfare bersifat propaganda.
Beberapa jenis propaganda antara lain: (a) White Propaganda. Propaganda putih merupakan aktifitas yang dilakukan secara terang-terangan terutama di media dengan maksud mendapat simpati dari pihak sendiri seperti tentang keberhasilan dalam pelaksanaan pertempuran dengan menyiarkan melalui televisi, radio atau media lain; (b) Black Propaganda. Propaganda hitam merupakan propaganda terselubung yang tidak dikenal sumbernya, propaganda ini bersifat merugikan yang dapat menjatuhkan mental atau sikap dan emosi lawan dengan maksud dapat mematahkan semangat lawan; (c) Gray Propaganda. Merupakan propaganda yang tidak jelas identitasnya antara sumber yang bersahabat atau sumber pihak musuh yang tidak bersahabat. Beberapa ahli menilai bahwa propaganda ini sebagi propaganda hitam yang kurang mantap karena masih bersifat samar.
Pada tahun 1939 menjelang Perang Dunia II, penerbit Harcourt, Brace and Company di Amerika mengeluarkan buku yang berjudul The Fine Art of Propaganda yang sekarang dikenal sebagai The Devices of Propaganda, telah mengelompokkan propaganda menjadi 7 jenis yaitu: Name calling (Penggunaan nama ejekan), Glittering generality (Penggunaan kata-kata muluk), Transfer (Pengalihan), Testimonial (Pengutipan), Plain Folks (Perendahan diri), Card Stacking (Pemalsuan), dan Bandwagon (Hura-hura). Dari tujuh jenis propaganda meskipun sudah berusia lebih dari 50 tahun, namun sampai sekarang masih banyak dijadikan sebagai bahan kajian dalam berbagai literatur karena dalam praktek di lapangan cukup berhasil dalam penyelenggaraan perang modern.
Nah, dengan mengenal sedikit tentang propaganda tentu kita sekarang tidak mudah terkaget-kaget atau terheran-heran jika mendengar berita-berita miring, isu-isu negatif, bahkan kabar-kabar indah tapi semu, maupun julukan-julukan dan statement-statement agak panas karena kita sudah bisa memilah serta memahami Apa sebenarnya signal yang ingin disampaikan ke khalayak umum? Apa maksud pesan sesungguhnya? Ranah politiskah atau pergumulan seru dalam konteks perang informasi.
Bagaimanakah menurut anda?