[caption caption="Sultan Kaprabonan X, Pangeran Raja Hempi Raja Kaprabon bersama Raja Samu Samu VI, Ratu Tanah Rata Kokoda Putri Raja Al Alam Ugar pik-pik Sekar Papua Barat, Kasultanan Demak, dan beberapa Raja yang tergabung dalam Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara "][/caption]
Perbedaan persepsi terhadap suatu istilah akan selalu ada sepanjang jaman, apalagi yang menyangkut urusan publik. Disinilah peran penguasa untuk secara adil menjelaskan, mensosialisasikan, dan menfasilitasi kepentingan seluruh rakyatnya dalam memanifestasikan keyakinan keberagaman mereka tanpa harus menimbulkan konflik antarumat beragama. Ada satu bentuk hubungan antar agama yang sudah dikembangkan oleh para pendiri bangsa kita ketika mereka membentuk dan mendirikan bangsa dan negara Indonesia ini. Ketika itu mereka telah menemukan satu bentuk sikap hubungan antaragama yang tidak eksklusif baik dalam varian insklusif maupun pluralis. Sikap ini adalah sikap yang lain sama sekali dari berbagai varian eksklusivisme itu, saya menyebutnya sebagai inklusif-transformatif. Inklusif karena ia mau menerima keberadaan agama lain. Transformatif, karena sikap ini membuka diri untuk berada bersama-sama dalam situasi menerima keberadaan yang lainnya dan sedapat mungkin belajar bersama-sama. Sikap ini untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia terjadi dalam fenomena yang bernama Indonesia ini. Dan, tulisan sebelumnya dalam bentuk miniatur Indonesia, sikap itu hadir di Cirebon (lihat, Bianglala Caruban Nagari)
Malam itu, gerimis (24/12) di Kota Cirebon, tepatnya Keraton Kaprabonan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Kasepuhan merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi Wa Sallam berlangsung bersamaan dengan Perayaan Natal bagi umat Nasrani. Saya (malam itu) berada di Lemahwungkuk, Keraton Kaprabonan, melihat sikap inklusif-transformatif itu secara adil turut menjelaskan, mensosialisasikan, dan menfasilitasi kepentingan seluruh warga Cirebon dalam memanifestasikan keyakinan keberagaman mereka tanpa harus menimbulkan konflik antarumat beragama. Acara yang digelar dan tajuk Kirab Panjang Jimat dan Muludan Keraton Kaprabonan cukup sakral dan khidmat berbaur bersama warga Cirebon.
[caption caption="Ratu Tanah Rata Kokoda Papua Barat bersama kerabat Kaprabonan dan warga Cirebon"]
[caption caption="Kirab Pusaka Kraton Kaprabonan"]
[caption caption="Kirab Pedang Ki Jagasatru"]
[caption caption="Kirab Panjang Jimat"]
Kirab Panjang Jimat, Muludan, dan Perayaan Natal umat Nasrani yang digelar bersama dalam merayakan keberagaman di kota Wali, Cirebon sangatlah indah. Agama adalah gejala sosial dan juga psikologikal, karena agama menekankan umat ketika pemahaman dan pengetahuan mendalam tentang agama dikembangkan, diajarkan, dan dilanggengkan. Agama memberi perhatian pada kondisi yang amat sulit semua orang di sepanjang waktu, tanpa memandang status sosial, budaya, atau status di dalam masyarakat. Konsep lorong keselamatan dapat mengikat orang pada nilai-nilai kesucian makna yang ditentukan dan pada kelompok sosial, atau bisa juga menawarkan kebijakan yang dapat dipergunakan orang untuk membebaskan dirinya dari kelompok-kelompok dan nilai-nilai kontemporer. Agama dapat memberinya kebebasan untuk mencapai nilai-nilai yang mentransendensikan tuntutan dari kehidupan sosial.