Saat itu, masa kecil saya selalu ditemani Eyang membawakan dongengannya dalam bahasa Jawa, di perpustakaannya. Dongengan Eyang membuat dunia otak masa kecil saya secara naluriah mencari dan menggabungkan inti makna cerita. Eyang juga suka mendongeng, tentang hal hal yang bagi saya serba mungkin dan memang ada, entah di dunia sebelah mana yang nanti akan saya jelajahi kalau sudah dewasa.Â
Mendengarkan Eyang membacakan cerita dari perpustakaan pribadinya adalah masa yang luar biasa indah, menjelang tidur. Itulah waktunya Eyang menitipkan mimpi indah bagi cucu-cucunya yang mencerna esensi cerita dengan caranya sendiri dalam bathin. Gaya Eyang membaca dan juga sampai ke detail dialognya menayangkan gambaran multivisi dalam otak, serba indah, tentang dunia antah berantah di satu tempat di bumi ini juga.
Impresi tentang si baik hati, si malang, si licik jahat, si tekun, si cerdik dan karakter lainya pasti ada dalam cerita Eyang maupun dalam buku bacaan dongeng. Setiap karakter membekas sebagai sebuah cermin dalam dunia permainan selepas cerita itu menghilang dari pendengaran maupun ketika kata terakhir dari cerita ditulis ‘sekian’ atau ‘selesai’ atau ‘bersambung’ sekalipun.
Masa kecil, yang dikelilingi tembok-tembok tinggi dan saya hanya 'bersemedi' di perpustakaan Eyang, tanpa menyentuh dunia luar tembok-tembok tinggi itu. Usia 6 tahun, pertama kali, saya berkenalan dengan Dibawah Bendera Revolusi, saat itu Eyang berbisik, "Ndan, simpen sedela ya, yen wis gedhe wae buku kuwi diwaca". Ya, namanya juga masih anak-anak, meski belum tahu apa pesan yang terkandung didalamnya tetap saja dibaca [tersenyum, saya selalu membacanya pada saat Eyang pergi]. Gadjah Mada karya Muhamad Yamin adalah buku kedua di masa itu.Â
Dan, hadiah ulang tahun saya dari kedua orang tua saat pulang ke Jogja, kumpulan dongeng HC Andersen. Masa itu memang dunia hanya berisi sesuatu yang serba penuh keingin tahuan dan mudah sekali berkembang menjadi angan panjang, bahkan sebagian tertanam menyatu dengan darah dan otak, latar belakang kepribadian.
Dan zaman semakin instant. Dunia pandang anak anak tak berubah dari sejak tahun satu. Dunia imajinatif yang kemudian menjadi pijakan arah uraian langkah langkah sikap sepanjang perjalanan umur menyikapi setiap kejadian yang menghampiri sepanjang masa penghabisan umur. Menjadi karakter sebuah kepribadian setelah menginjak dewasa kelak.
Cerita dongeng, selalu mengandung pengetahuan dan nilai moral yang sederhana dan dapat dengan mudah dicerna oleh mesin berfikir anak anak, karena sesuai dengan pola fikir kanak kanak. Setiap dongeng selalu mengajarkan tentang perjuangan hidup, meniadakan tembok tembok sosial seperti etnis, agama, suku, dan asal muasal. Dongeng adalah konsumsi anak anak yang universal.Â
Anak anak belajar sesuatu dari dongeng dan yang utama mengenal norma norma sosial. Dongeng dapat membangun karakter kepribadian, tapi sayangnya hanya sedikit orang tua yang memiliki kemampuan mendongeng yang baik, yang sanggup meng’hipnotis’ sang anak untuk memasuki dunia cetakan karakter yang atraktif sekaligus menghibur.
Tanpa harus mengadopsi cerita kepahlawanan yang ngoyoworo dari negara lain seperti tokoh tokoh komik maupun kartun, Indonesia memiliki kekayaan dongeng dan legenda yang jika dikemas dengan apik dan kemudian semua orang tua peduli kepada anak untuk menyuguhkan itu kepada anak anaknya, dengan pesan moral yang bukan diktatif , maka atas ijin Tuhan pembangunan karakter bangsa itu akan tetap masih bisa dilakukan, dengan fondasi yang benar untuk menopang bangsa yang besar. Kelak, anak cucu kita akan memiliki identitas nasional sebagai bangsa Indonesia, dan kita akan ikut bangga.
Buntelan "Aku dan Buku" 5 Tahun Keajaiban Pawon menyentuh hati dan menggerakkan ingatan sedikit masa kecil saya, di Kota Gudeg.