Apakah ada Perlindungan hukum bagi jurnalisme warga? Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa Kedudukan wartawan dan jurnalis warga itu berbeda. Meskipun keduanya melakukan aktivitas jurnalistik yaitu; mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi.Â
Jurnalisme warga tidak dibekali pedoman / kode etik profesi yang diakui sah. Hal itu dikarenakan jurnalisme warga bukan bagian dalam profesi dan dilakukan warga tanpa keahlian khusus dan terverifikasi oleh lembaga khusus. Berbeda dengan wartawan profesional yang memiliki kode etik dan diakui keabsahannya oleh dewan pers yaitu kode etik jurnalistik (KEJ) hal tersebut karena yang dilakukan wartawan dalam melakukan aktivitas jurnalistik merupakan bagian dari profesi. Aktivitas wartawan profesional juga dilakukan dengan keahlian khusus yang terverifikasi oleh lembaga Pendidikan khusus dengan kurikulum khusus dan dapat dipertanggung jawabkan.Â
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan KIHSP (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik) belum cukup untuk mengakomodasi perlindungan jurnalisme warga yang komprehensif.Â
Dalam konteks itulah sebenarnya perlu untuk mengetengahkan keberadaan jurnalisme warga, sejauh mana jurnalisme warga diakui dan diberikan perlindungan hukum dalam menjalankan aktifitasnya, sehingga memberikan kontribusi bagi demokratisasi di Indonesia. Maka, jelaslah untuk melihat posisi apakah memang diperlukan pembatasan yang secara hukum dan apa basis untuk pembatasan tersebut. Secara khusus, belum ada hukum atau perundang-undangan di Indonesia yang menegaskan dengan istilah jurnalisme warga. Sekalipun demikian, bukan berarti tidak ada aturan hukum yang memungkinkan menjadi dasar perlindungan untuk melaksanakan praktek jurnalisme warga.
Pertama, jurnalisme warga harus ditempatkan dalam konteks hak asasi manusia. Sebagai hak asasi manusia, ia merupakan bagian tak terpisahkan dari banyak hak yang terkait, antara lain: hak untuk berpendapat, hak untuk memperoleh informasi, hak untuk berkomunikasi, hak untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi, dan kebebasan ekspresi yang memungkinkan warga melibatkan dirinya dalam kehidupan politik kewargaannya.Â
Dalam sejarahnya, Pasal 19 dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM), menjelaskan bahwa hak fundamental kebebasan berekspresi mencakup kebebasan "untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa pun dan dengan tidak memandang batas negara".Â
Pasal tersebut, sangat erat berkaitan dengan perkembangan pemikiran soal ide dan politik kebebasan, terutama bagi bangsa-bangsa yang berkehendak lepas dari penjajahan atau kolonialisme yang terjadi cukup panjang.Sekalipun memiliki perbedaan konteks dengan sejarah itu, tetaplah ide kebebasan relevan bagi perkembangan masa sekarang, karena sejatinya sifat universalisme hak asasi manusia sangatlah mendasar bagi bangunan negara demokratis.
Dalam sistem hukum Indonesia, hak-hak yang terkait dengan jurnalisme warga telah menjadi hukum yang jelas memberikan perlindungan, baik melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (hak asasi manusia sebagai fundamental rights atau constitutional rights), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifkasi International Covention on Civil and Political Rights (ICCPR).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H