Istilah “kids zaman now” ataupun generasi milenial tentunya tidak asing bagi kita semua. Adapun istilah tersebut merujuk pada tingkah laku anak-anak sekarang yang dianggap jauh berbeda bila dibandingkan dengan tingkah laku anak-anak generasi sebelumnya.
Perbedaan yang kasat mata tersebut terjadi diantaranya karena “kids zaman now” lahir pada era digital, yang mau tidak mau membuat pola hidup mereka tidak lepas dari gawai dan pada akhirnya mereka dengan mudahnya menyerap nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi mereka dengan dunia “lain” yang mereka temukan dalam gawai tersebut. Menyikapi perubahan drastis yang terjadi pada perilaku anak-anak tersebut, tentunya banyak hal yang juga harus disesuaikan dengan zaman “now” sehingga anak-anak tersebut tidak merasa enggan untuk mengadopsinya karena dianggap telah ketinggalan zaman.
Salah satu bidang yang harus berubah dan mengadopsi konsep kekinian tentunya adalah pendidikan karena dengan adanya “kids zaman now”, tentu saja akan membutuhkan “guru zaman now” yang kini diganti dengan istilah tenaga pendidik. Sebelum munculnya generasi “kids zaman now” sebenarnya perubahan dalam dunia pendidikan telah didengung-dengungkan.
Pola pendidikan yang mengandalkan kekerasan dan menghafal mati pelajaran sebagaimana yang dirasakan oleh generasi terdahulu dianggap tidak sesuai lagi untuk diterapkan pada masa ini. Selain karena tidak menciptakan generasi yang kreatif (mampu mengembangkan ilmu yang diterimanya), kekerasan dalam dunia pendidikan dengan dalih disiplin juga melanggar HAM dan hanya melahirkan generasi yang akan melanjutkan “tradisi” kekerasan tersebut kepada generasi berikutnya.
Untuk menyukseskan perubahan dalam dunia pendidikan, perubahan kurikulum mutlak diperlukan. Sebut saja dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga yang paling anyar tentunya Kurikulum 2013 (K-13). Perubahan kurikulum tersebut turut mengamanatkan adanya perubahan dalam cara mengajar para tenaga pendidik. Metode ceramah yang dulunya jamak digunakan, kini diharamkan.
Alih-alih sebagai penceramah, pada saat ini tenaga pendidik adalah seorang moderator yang bertugas untuk membimbing peserta didik dalam menemukan intisari pelajaran yang hendak disampaikan. Peserta didik yang dulunya lebih banyak pasif, kini diupayakan supaya lebih aktif melalui metode-metode pengajaran yang lebih bervariasi, baik melalui diskusi kelompok, kegiatan-kegiatan praktik, serta mempresentasikan hasil temuan mereka di depan kelas.
Untuk dapat mengakomodasi tuntutan kurikulum yang dapat dikategorikan sebagai suatu revolusi dalam dunia pendidikan tersebut, kemampuan tenaga pendidik tentunya menjadi satu pertanyaan besar. Kurikulum yang dirancang dengan baik, namun tanpa didukung oleh kemampuan yang mumpuni dari tenaga pendidik untuk melaksanakannya tentu hanya akan menjadi sia-sia belaka. Untuk meningkatkan kemampuan tenaga pendidik sehingga mampu mengemban amanat kurikulum, maka pemerintah melalui dinas yang terkait, rajin melakukan sosialisasi serta mengadakan pelatihan terhadap tenaga pendidik yang masih aktif dalam dunia pendidikan.
Dari pemaparan singkat tersebut, sepertinya tugas seorang tenaga pendidik sangat sederhana dan bahkan dapat dilakukan oleh siapapun karena tenaga pendidik tinggal mengikuti arahan dari setiap kurikulum, disediakan pelatihan oleh pemerintah pula. Tidaklah mengherankan jika sebagian masyarakat berpendapat bahwa tenaga pendidik di Indonesia cenderung malas karena dianggap kurang produktif dalam menghasilkan karya tulis, serta malas untuk membaca buku selain buku dari mata pelajaran yang diampunya mengingat tugasnya yang cukup ringkas, yakni menyampaikan materi pelajaran. Benarkah tenaga pendidik Indonesia cenderung malas?
Saat ini, dunia pendidikan nasional sedang diarahkan menuju pembelajaran dengan pendekatan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) yang kemudian disempurnakan menjadi PAILKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, dan Menarik). Secara singkat, pendekatan PAILKEM menuntut sistem pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Terkait dengan kehidupan nyata, mendorong peserta didik untuk berpikir tingkat tinggi, melayani gaya belajar peserta didik yang berbeda-beda, interaksi multiarah antara peserta dengan tenaga pendidik, menggunakan lingkungan sebagai media pembelajaran, penataan lingkungan belajar, pemantauan hasil belajar, serta umpan balik terhadap hasil kerja peserta didik.