Lima tahun lalu, kau pergi. Kau tinggalkan pesan melalui selembar kertas roti yang kau hias dengan mahkota bunga kembang sepatu. Katamu, kita akan bertemu di bulan September tahun ini. Tepat ketika bulan sedang remaja.
Kau bilang, tunggulah di taman seberang rumah sakit. Kau akan menampakkan wajahmu, disaat matahari mulai menampakkan wajahnya. Detik demi detik, menit demi menit, seluruh tubuh matahari sudah sempurna, namun batang hidungmu belum juga terlihat. Tak apa, aku menikmatinya, menunggu sambil menatap bunga-bunga yang bermekaran. Tanda September ini akan penuh kebahagiaan.
Aku ingat saat kita mengikat janji, bukan cincin berlian yang kau berikan. Melainkan seikat bunga kembang sepatu sebagai tanda kita telah menyatu. Sarapan kita di pagi hari selalu diawali teh rosela. Aku selalu kagum dengan ceritamu, bahwa teh rosela yang kau buat berasal dari tanaman yang bernama kembang sepatu.
Ketika aku bertanya, mengapa ada tanaman bernama kembang sepatu? Kau menceritakan bahwa suatu saat ada seorang bidadari yang sedang mandi di sungai. Setelah selesai mandi, dia kehilangan sepatunya. Tanpa sepatu dia tidak bisa pulang ke kayangan. Kemudian bidadari itu melihat bunga yang sedang berkembang berwarna kemerahan, indah sekali. Bunga itu dia ambil perlahan dan ditaruh di telapak kakinya. Ajaibnya, tiba-tiba angin kencang datang, bunga pun terbang membawa bidadari ke kayangan. Di kayangan, bidadari ditanya oleh ibunya? Mana sepatumu? Bagaimana kau bisa pulang tanpa sepatu. Lalu sang bidadari menjawab, aku pulang dengan kembang sepatu.
Aku merasa dibohongi oleh ceritamu, namun aku senang mendengarnya. Dan hari ini, aku duduk di kursi besi yang sudah berkarat. Menunggumu datang dan ingin mendengar berbagai kisah darimu.
“Hei, siapa yang kamu tunggu?”
Kakiku berdiri, mataku membesar menatap sekitar.
“Apakah itu dirimu sayang?”
Dihadapanku setangkai bunga kembang sepatu yang masih menyatu dengan pohonnya, mengembang-menguncup seakan mengatakan sesuatu. “Siapa yang kamu tunggu?”
“Kau memanggilku?” tanyaku kepada bunga kembang sepatu.
“Siapa lagi kalau bukan kau? Tak ada orang lain disini.”