Mohon tunggu...
Yogi Setiawan
Yogi Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aku adalah

Pemuda yang penuh semangat, senang berbagi dan pantang menyerah. Mulai menulis karena sadar akan ingatan yang terbatas. Terus menulis karena sadar saya bukan anak raja, peterpan ataupun dewa 19.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Belajar Memahami Wanita dari Film Kartini

19 April 2017   02:59 Diperbarui: 19 April 2017   03:06 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yuk tonton film yang bukan hanya mengedukasi tapi juga menghibur (Dokpri)

Ibu-Ibu Kartini

Kartini mempunyai dua ibu. Pada saat itu wanita harus siap dimadu. Ngasirah ibu kandung Kartini harus merasakan nasib tersebut. Suaminya harus menikah lagi dengan Moeryam. Saat itu kolonial memiliki aturan bahwa bupati harus menikah dengan kaum bangsawan. Karenanya, dia harus rela tidak lagi dipanggil “Ibu” oleh anak-anaknya melainkan “Yu” (panggilan mba untuk pembantu).

Lalu apakah Moeryam bahagia? Sebagai istri muda (ibu tiri Kartini) sebenarnya tidak sebahagia yang dikira orang-orang kebanyakan. Dia terpaksa menjadi istri kedua untuk menjaga kehormatan keluarga. Dia pun merasa tidak dicintai sepenuhnya oleh suaminya. Ada saat-saat dimana dia merasa cemburu ketika Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (sang Suami) mengajak Ngasirah tidur bersama. Djenar Maesa Ayu berperan ciamik menjadi ibu tiri yang galak namun tetap memiliki jiwa lembut perempuan yang tidak bisa disembunyikan.

Kartini

Kartini hidup sebagai anak bupati yang mengikuti adat istiadat dan budaya kerajaan. Dia merasa wanita tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Segala hal diatur oleh laki-laki dan keluarganya. Wanita yang sudah baligh dan belum menikah menjadi aib bagi keluarga. Budaya Pingit harus dilakukan untuk menutup “kemaluan” tersebut hingga mendapatkan suami.

Kartini tidak terima dengan hal itu. Menurutnya wanita juga berhak menentukan nasibnya sendiri. “Badan boleh terkungkung, tapi pikiran dan jiwa harus tetap bebas,” katanya.  Wanita boleh sekolah tinggi, boleh menentukan pasangan hidupnya, boleh mengungkapkan pendapatnya dan boleh melakukan seperti halnya apa yang laki-laki juga bisa lakukan.

Hanung menggambarkan Kartini dengan gaya yang tomboy, mungkin untuk lebih menjelaskan bentuk penolakan terhadap kekakuan adat istiadat. Menurut saya karakter seperti itu, selain memperkuat maksud cerita juga menghibur para penonton. Jadi menonton film sejarah tidak selalu serius dan kaku, bisa dengan ceria namun tidak menghilangkan esensinya.

Adik-Adik Kartini

Kardinah dan Rukmini saat dalam masa pingitan mendapatkan pengajaran dari Kartini. Kartini yang “mencekoki” mereka untuk membaca, menulis dan membatik. Selain itu, mereka juga diajak naik tembok rumah, manjat pohon, namun mereka tetap bisa memasak di dapur.

Saat Kardinah harus menikah duluan dan menjadi istri kedua dari salah satu bupati, Kartini dan Rukmini tidak bisa menahan kesedihan. Bahkan Rukmini sampai bersumpah tidak mau menikah. Karena tidak ingin dikekang sebagai seorang wanita.

Kakak Wanita Kartini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun