[caption caption="[Tantangan 100 Hari Menulis Novel] Novelius Part 2: Bidadari Perpustakaan"][/caption]Perpustakaan selalu menjadi tempat yang menarik bagi gue untuk mencari ide. Disanalah gue bisa melihat banyak buku-buku yang menarik. Buku bagi gue adalah pintu doraemon. Gue bisa pergi kemana saja dengan hanya membuka buku.
Mungkin sebagian orang memandang gue agak sedidkit kuno. Baca berita masih nyari di koran. Padahal sekarang sudah banyak berita online. Bahkan buku pun sudah digital. Namun bagi gue ada pengalaman berbeda yang tidak didapatkan jika hanya membuka gadget. Dengan baca koran ataupun buku pengalaman yang gue suka adalah mencium bau kertasnya.
Ada sensasi yang ‘ehh... banget. Campuran lignin, tinta dan lem berpadu menjadi aromaterapi bagi gue. Ketika membaca buku tua ada sensasi almond di dalamnya. Tapi kadang, ada juga bau buku yang nyebelin. Buku-buku di dalam kardus yang tak terawat. Bau yang khas, namun bisa bikin gue muntah jika kelamaan menciumnya. Perpaduan antara lignin, tinta, lem, di tambah tai tikus. Zat terakhir inilah yang membuat gue akan lambaikan tangan ke kamera tanda menyerah.
Hal lain yang menyenangkan ketika pergi ke perpustakaan adalah gue bisa bertemu dengan pustakawan yang cantik. Walaupun itu hanya sedikit dari sekian banyak pustakawan yang sudah mulai menua. Di perpustakaan gue juga bisa menemukan cewek cantik (tipe gue) yang juga pengunjung perpustakaan. Gue bisa memandangannya dengan berpura-pura membaca buku. Entah kenapa gue bisa melihat aura yang terpancar dari cewek yang sedang baca buku. Ada aurora dengan warna-warna yang indah muncul di mata gue.
Pernah suatu kali gue bermaksud berkenalan dengan cewek cantik (tipe gue). Namun hal itu gagal karena ketidakpedean. Dan akhirnya hal itu hanya bisa gue luapkan dalam sebuah puisi.
Bolehkah Ku
Bolehkah ku tahu.
Siapa, darimana, mengapa, bagaimana
dirimu?
Maukah kau menuliskan selembar surat.
Dan ku kembalikan selembar surat.
Agar kau kenal aku.
Agar ku kenal kau.
Lalu saling mengenal,
memahami,
menjalin cinta,
membangun cita,
mewujudkannya,
lalu mati bahagia.
Dredet.. dredet.. Gadget di saku celana bergetar. Ada sebuah notifikasi email dari penerbit.
From: penerbitpu@gmail.com
To: tomanakganteng@ymail.com
Subject: Hari Pertama
Dear Tom,
Ini hari pertamamu menulis novel. Kau harus menyelesaikan minimal 500 kata dalam sehari. Kami tunggu hingga pukul 23:59. Jika tidak, hal buruk akan menimpa dirimu.
Semangat menulis
Penerbit Petunjuk Arah
Arggh.. gila, sampai sekarang gue belum menemukan apa yang harus ditulis. Dateline hari ini tinggal sepuluh jam empat puluh sembilan menit lagi. Gue kebanyakan bengong nih. Gue haris cari buku!
“Kamu cari apa Tom?”
“Eh ibu.”
“Cari apa?”
“Cari kunci motor bu.” Nah ini dia nih kuncinya.
“Mau kemana?”
“Ke Perpus bu.”
“Ibu tolong pinjemin buku resep masakan ya.”
Aduh si ibu. Buku resep masakan yang kemarin aja diilangin. Gue ganti dua kali lipat dari harga asli. Sekarang mau pinjem lagi.
“Oke bu sip.”
---------
[caption caption="Perpustakaan. (Ilustrasi: dokpri)"]
Satu persatu buku-buku gue baca. Tak sampai habis. Hanya bagian pertama dari setiap buku yang gue baca. Gue harus tahu, bagaimana cara mereka menulis bagian pertama novel.
Writing is an exploration. You start from nothing and learn as you go. –El Doctrow-
Ah ya, kata-kata ini gue banget. Gue hanya harus mencobanya. Gue pasti bisa nulis novel.
Lagi asik-asik baca buku, tiba-tiba ada yang memegang pundak gue dari belakang. Gue menoleh dan cess.... Gue melihat sesosok bidadari di depan mata gue.
“Maaf mas, jam perpustakaannya telah habis.”
Ah.. lembut sekali kata-kata bidadari ini.
“Maaf mba, tapi bukan saya yang makan jam perpustakaannya.”
Bidadari itu tersenyum “Maaf, maksud saya perpustakaannya mau tutup.”
Oh.. gue denger suara bidadari lagi.. kelembutan suaranya mengalahkan suara sopran Aluna Sagita. Apalagi senyumannya, ahh.... Andai gue jadi lesung pipinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H