Hari masih sangat pagi. Kulangkahkan kakiku memasuki gerbang SMA Pelita Hati tempatku menuntut ilmu kini. Aku pindah ke kota ini enam bulan yang lalu. Namun sampai detik ini kenangan akan kampung halamanku tak pernah sirna. Walau hari-hariku disibukkan tugas-tugas sekolah. Sore hari kuhabiskan waktu membantu Bibi Marlina dan Paman Hadi di tokonya. Bibi Marlina saudara ibuku satu-satunya. Beliau sudah sangat berjasa padaku. Menyelamatkan sekolahku yang hampir putus di di tengah jalan karena keterbatasan biaya. Membawaku ke kota ini dan tinggal di rumahnya. Aku merasa beruntung Mbak Mira, kakak sepupuku begitu perhatian padaku.
   Kuhirup nafas dalam-dalam, menikmati kesegaran udara pagi sepuas-puasnya. Kesejukan pagi yang selalu membuat ingatanku melayang pada rumah dan sekolahku di desa. Kerinduan membuat nyeri di dada. Mataku mulai berkaca-kaca. "Hai!! Des, tunggu...!!" Sebuah panggilan membuat lamunanku buyar. Dengan mata yang masih berkabut aku menoleh ke belakang. Kirana turun dari mobil ayahnya. Sejenak dia melambaikan tangan sebelum senyum cerianya kembali mengarah padaku. "Apa yang kau bawa Kir?" Mataku mengamati kotak makanan yang dipegang.Â
"Kue bolu buatanku" jawabnya jenaka setengah berbisik. "Ah masa? Anak pengusaha sepertimu suka bikin kue? Minta dibuatin sama pembantu saja, kan beres!" Aku menggodanya. Â "Buatan sendiri lebih enak tau!!" Dia mencubit lenganku. "Siapa yang mengajarimu?" Tanyaku penasaran. "Mama.." Kirana mengedipkan matanya. Seperti biasa meluncurlah beragam cerita tentang Mama yang dia sayangi dari bibir mungilnya. Mama yang selalu setia mendengar curhat-curhatnya. Mama yang dengan senang hati mengajari memasak dan membuat kue kesukaannya. "Mamamu memang hebat!" Kuacungkan jempol. Kirana membalas dengan tawanya. Aku membayangkan mama Kirana pastilah sosok ibu yang sangat cantik dan lemah lembut.
   Sebentar saja kelasku ramainya sudah menyamai kantin. Pujian buat Kirana bertebaran di mana-mana. "Wahh bolunya enak sekali!!" Dewi memasukkan potongan kecil bolu yang masih tersisa di tangannya, sedangkan mulutnya masih penuh. Yang lainnya tak mau kalah, mereka seperti juri lomba memasak yang tak henti memuji sang juara. Aku tertawa geli melihatnya. Aku sangat kagum pada Kirana, teman sebangkuku itu. Dia cantik, pintar, anak orang kaya dan tak pernah membeda-bedakan teman.Â
Dia berteman dengan siapa saja tanpa memandang status sosial. Aku terkadang iri padanya. Hari-harinya pastilah sangat menyenangkan. Bersama ibu yang selalu menemani tentu membahagiakan. Mataku menghangat. "Ah ibu..." bisikku perlahan. "Dessy jangan melamun terus dong. Gimana? Enak bolunya?" Kirana menepuk pundakku. "Oh ia... ya... Enaak banget..." Aku tergagap. "Besok malam datang ke rumahku yaa... Aku ulang tahun lho!!" Kirana memelukku. Aku mengangguk sambil tersenyum.
                    & & & & &
   Benar seperti dugaannku. Rumah Kirana begitu besar lengkap dengan kolam renangnya. Pestanya meriah, semua teman sekelasku diundang. Halaman rumahnya sangat luas, rasanya bisa menampung anak-anak satu sekolahan. Untunglah Mbak Mira mau mengantarku, hingga aku tak membuat Kirana kecewa. Aku juga ingin bertemu mamanya. Ingin berkenalan dan mengobrol dengan beliau, bukan hanya lewat cerita Kirana saja. Kuberjalan perlahan sambil mendekap erat kado untuk Kirana.
"Oh... Dessy sudah datang" Citra menyambutku gembira. Aku tersenyum. Begitu banyak tamu yang hadir. Tapi dari tadi kok aku tak melihat Kirana? Aku menebarkan pandangan mencari-cari Kirana. "Mana Kirana?" Tanyaku pada Citra dan Liana yang berdiri di sampingku. Mereka tampaknya sangat menikmati pesta. Bersenandung mengikuti irama lagu yang diputar. "Itu dia..." Liana mencolek lenganku. Kirana datang sambil menggelayut manja di lengan papanya. Dia sangat cantik dengan gaun putihnya.Â
Seperti putri dalam dongeng yang sering kubaca. Aku memandang takjub sekaligus heran. "Mana mama Kirana? Kok mereka berdua saja?" Aku berbisik pada Liana. Gantian Liana yang memandangku heran. "Lho kamu belum tau ya? Mamanya Kirana kan sudah meninggal setahun yang lalu karena kanker payudara." Aku kaget bukan kepalang. Jadi setahun ini Kirana hidup tanpa mama? Keceriaan selalu jadi ciri khasnya. Ternyata dibalik itu ada duka yang dalam tapi tak pernah tampak di wajahnya.
Kubandingkan dengan diriku yang selalu murung. Yang selalu menyesali diri tinggal jauh dari orang tua terutama ibuku. Padahal aku masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi. Alangkah bodohnya aku telah menyia-nyiakan orang-orang yang menyayangiku. Teman-teman yang selalu mendungkung walaupun aku murid baru di sekolah ini. Kembali kutatap Kirana. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya, membuatku makin kagum padanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H