Mohon tunggu...
Wayan Edwin
Wayan Edwin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Revitalisasi Pendidikan Nasional Melalui Pendidikan Keluarga

25 November 2024   21:15 Diperbarui: 26 November 2024   04:29 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Happy Family (Sumber: Pexel)

Myles Munroe, seorang preacher sekaligus penulis buku dari Bahama menyatakan bobroknya sebuah negara dapat ditelusuri melalui keluarga-keluarga karena keluarga merupakan batu penyusun sebuah rumah bernama negara. Hancurnya suatu negara dapat ditelusuri dari keluarga. Ungkapan itu sangat benar dan jika dihubungkan dengan hilangnya karakter suatu bangsa, kehilangan itu pasti dimulai dari keluarga-keluarga. Menyudutkan pemerintah sebagai satu-satunya sumber kegagalan pendidikan nasional merupakan suatu hal yang kurang tepat. Kita semua bertanggung jawab jika dirasa terjadi kegagalan.

Hal yang lumrah terjadi ketika orang tua yang hendak menyekolahkan anaknya berkata kepada kepala sekolah, pokoknya saya serahkan pendidikan anak saya kepada pihak sekolah, terserah sekolah, pokoknya saya pasrahkan anak saya. Ungkapan ini disinyalir muncul karena beberapa alasan, misalnya ketidakpahaman orang tua soal pendidikan, kesibukan orang tua dalam memenuhi kebutuhan asap dapurnya atau karena faktor kemalasan. Gayung bersambut, pihak sekolah mengamini dengan penuh rasa bangga karena merasa mendapatkan apresiasi dari orang tua. Mereka lupa bahwa pendidikan yang utama dan terutama ada di keluarga dan sekolah hanyalah rumah kedua bagi pendidikan anak-anak.

Kegagalan dalam memahami etimologi "sekolah" telah merampas fungsi keluarga dalam pelaksanaan pendidikan. Sekolah yang sebenarnya berarti waktu luang di mana anak-anak mengisi waktu tersebut dengan belajar bersama telah berubah menjadi waktu pokok. Anak zaman sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah, berangkat ke sekolah pagi-pagi dan pulang pada saat petang tiba. Sesampai di rumah mereka sudah kelelahan. Mereka mengalami kelelahan secara fisik dan psikis yang pada akhirnya memengaruhi kualitas komunikasi antara anak dan orang tua. Keintiman atau quality time dengan keluarga bagai sebuah cerita di masa lalu.

Kondisi ini akan selalu ada sejauh tidak ada kesadaran dari semua pihak. Pemerintah sebagai regulator sistem pendidikan nasional harus mulai memberi perhatian lebih pada pengembangan dan pemberdayaan keluarga khususnya dalam pendidikan anak. Banyak program dan anggaran dibuat bagi kemaslahatan bersama, namun kurang memberi proporsi pada program keluarga dengan membekali para orang tua cara mengasuh anak. Di sisi lain, orang tua harus menyadari bahwa investasi terbesar dalam hidup adalah anak-anak. Kesadaran ini perlu dikembangkan mengingat karena seorang anak, dunia dapat diubahkan. Demikian juga, karena seorang anak, dunia bisa hancur. Thomas Alva Edison, sebagai contoh, dengan kegigihannya mampu menciptakan bola lampu yang pada akhirnya menerangi dunia. Adolf Hitler dengan kebengisannya membawa nestapa pada jutaan orang. 

Pendidikan harus dimulai dari keluarga, sementara sekolah merupakan partner dalam mencapai visi keluarga. Para orang tua dalam memilih sekolah seharusnya tidak didasarkan pada kata orang. Orang tua harus memeriksa secara teliti dan hati-hati apakah sekolah yang dituju relevan dengan visi keluarga. Apakah kurikulum sekolah dituju menunjang tercapainya visi keluarga atau tidak? Apakah tenaga pendidik dan kependidikan dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan dan visi keluarga? Apakah sarana prasarana yang dimiliki sekolah dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan dan visi keluarga?  Jika tidak, sebaiknya mencari alternatif lain yang lebih relevan.  

Keluarga harus menjadi rumah penerimaan tanpa syarat dan anak-anak sangat membutuhkan hal ini untuk tumbuh lebih otentik tanpa merasa dihakimi. Penerimaan merupakan pondasi yang kokoh dalam membangun kepercayaan. Melalui penerimaan anak akan belajar menerima dirinya sendiri sebagaimana mereka ada. Dari penerimaan yang mereka terima, mereka juga belajar berempati kepada yang lainnya.

Keluarga juga harus menjadi wadah di mana anak-anak diberdayakan bukan diperdaya dengan berbagai aturan dan larangan dengan dalih demi kebaikan mereka. Orang tua yang memberdayakan adalah orang tua yang terlibat secara aktif membangun anak-anak untuk meraih destiny mereka. Sebagai contoh banyak orang tua yang melarang dan memarahi anak menggunakan HP tetapi tidak memfasilitasi anak dengan aktivitas membangun yang dapat mengalihkan perhatian anak dari HP. Orang tua yang memberdayakan selalu mencari cara untuk bisa mengembangkan potensi anak tanpa mengontrol secara berlebihan.

Keluarga harus menjadi wadah pertama di mana keakraban terjalin. Keakraban harus mengantarkan anak kepada perhatian, pemahaman, komunikasi dan kebersamaan yang hakiki. Para orang tua harus senantiasa belajar menciptakan suasana keakraban di antara sesama anggota keluarga. Jangan menggunakan pengalaman masa lalu untuk mendidik anak sementara hal itu sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Mulailah berubah dari hal-hal yang kecil, niscaya suatu saat ketika anda menoleh ke belakang anda akan mendapati diri anda sudah berada jauh di depan. Ingat... anak-anak yang hebat pasti lahir dari keluarga yang hebat. Selamat menjadi orang tua..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun