"Dilan, menyebar paham kebaikan itu berat, apalagi melawan tirani, kamu tak akan kuat, biar Pythagoras saja."
Seandainya Dilan telah ada pada tahun 550 SM kira-kira pesan romantis seperti itulah yang mungkin bisa Ia sampaikan kepada Pythagoras seorang filsuf yang terkenal seantero jagat terutama di kalangan pelajar sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Ia terkenal oleh segitiganya yang samakaki dan stabil, terdiri dari titik-titik yang tersusun berurutan  dari satu hingga empat dan jumlahnya menghasilkan bilangan sepuluh (1+2+3+4 = 10) yang hingga kini terkenal dengan nama 'dalil Pythagoras'.
Namun siapa sangka seorang Filsuf yang terkenal dalam bidang Matematika memiliki pengalaman yang tidak enak terhadap rezim yang berkuasa pada zamannya. Saat itu Bagi Pythagoras lebih penting memperhatikan  hal-hal yang berkaitan  dengan etika acuan dalam kehidupan kemasyarakatan. Menurut Pythagoras, hal yang sangat menentukan bagi keselarasan hidup dalam kebersamaan ialah dianutnya norma tata susila.
Pythagoras sagat mengecam  kecenderungan 'korupsi dan kemunafikan' yang terjadi dalam kalangan para penguasa dan pemuka masyarakat. Ia menganjurkan perlunya diberlakukan tata susila yang ketat dalam kehidupan bersama.
Akibat banyak norma tata susila yang dirumuskannya bertentangan dengan kenyataan pada waktu itu maka Pythagoras sangat berhati-hati dalam mengajarkan filsafatnya tentang kesusilaan. Demikian pula dengan murid-muridnya yang cenderung merahasiakan tempat berkumpulnya karena khawatir dengan kejaran para penguasa yang merasa mendapat 'kritik tajam'.
Murid-murid Pythagoras ini amat menjaga kerahasiaan ajaran gurunya. Untuk itu, mereka membentuk suatu kekerabatan yang ketat. Namun, ciri kerahasiaan itu menyebabkan mereka sering dituduh sebagai pengembang ajaran mistik yang mempelajari berbagai hal yang terlarang.
Di samping itu, karena terus-menerus dicurigai dan dikejar-kejar penguasa maka Pythagoras beserta murid-muridnya meninggalkan Yunani untuk selanjutnya bermukim di Kroton, Italia Selatan. Dalam perpindahan itu banyak karyanya yang tidak terbawa dan dimusnahkan penguasa sehingga tidak banyak sisanya yang terselamatkan dan dapat dipelajari oleh para filsuf sesudahnya.
Di antara yang diajarkan oleh Pythagoras ialah numerologi; setiap angka memiliki arti perlambangan dan setiap gabungan angka pun punya arti tertentu. Numerologi yang dikembangkan oleh Pythagoras dan murid-muridnya itu cenderung dipandang sebagai pengetahuan yang mengandung rahasia.
Akibatnya, banyak naskahnya yang dimusnahkan karena dikhawatirkan mengajarkan hal-hal yang berlawanan dengan pandangan penguasa waktu itu. Pythagoras termasuk seorang filsuf masa pra-Socrates yang cukup terkemuka. Namun, sedikit saja karyanya yang dapat diselamatkan untuk diperdalam lebih lanjut. Sayang sekali ya bung. [ek]
Referensi: Hassan, Fuad. 2014. Psikologi-Kita & Eksistensialisme. Depok: Komunitas Bambu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H