Kabut mulai turun. Seluas mata memandang terlihat seperti asap yang menyebar perlahan menutupi pepohonan. Semilir angin semakin dingin menyelusup ke permukaan kulit. Ryan merapatkan retsleting jaketnya yang sejak tadi terbuka. Kepalanya mulai pusing. Beberapa hari belakangan ini kondisinya memang tidak fit. Perubahan cuaca membuat dirinya harus mulai beradaptasi dengan lingkungan. Sepuluh tahun menghabiskan waktu di dalam penjara membuat dirinya terasa asing. Padahal ini adalah tanah kelahirannya. Tempat dia di besarkan oleh ibu tercinta.
Ryan sudah melakukan banyak kesalahan dalam hidupnya. Terlambat menyadari cinta ibu yang begitu besar untuknya. Hingga tak bisa melihat semua ketulusan ibu, membesarkan dirinya dan Sakina, sendirian. Ayah sudah meninggal saat usianya genap enam tahun. Kesibukan ibu mencari nafkah membuat Ryan salah memilih teman. Masa remajanya menjadi masa sulit yang membuat dia terpaksa bersentuhan dengan berbagai jenis narkoba. Temannya yang cukup berada memberinya secara gratis asalkan Ryan mau menemaninya menghirup shabu, menenggak pil ekstasi, merokok dan minum alkohol . Ryan, hanya seorang remaja yang ingin terlihat sama dengan temannya. Tak ingin di pandang sebagai pengecut yang takut melakukan hal-hal yang tidak biasa. Berulangkali ibu mengingatkan agar dia berhati-hati memilih teman. Sejak ibu mulai melarang, saat itulah Ryan merasa semakin jauh dari ibu. Tiba-tiba semua yang dia lakukan selalu saja salah dan membuat mereka bertentangan.
“Huuuft..” Ryan menghela napasnya yang terasa berat. Tangannya mengusap pelan makam ibu. Sepuluh tahun yang lalu, Ryan ikut mengusung jenazah ibunya ke tempat peristirahatan terakhir. Tempat di mana ia takkan pernah lagi menangisi anak laki-lakinya yang selalu membuat hatinya susah. Membuat sisa hidupnya penuh dengan air mata.
Ryan berpindah ke makam sebelah kanan. Makam ayah dan ibu memang di buat bersebelahan. Air mata Ryan mengalir membasahi kedua pipinya yang dingin. Tangisnya pecah. Mengingat betapa buruk dia telah membalas cinta dan harapan dari kedua orang tuanya. Penggalan-penggalan kejadian itu seolah terus berputar layaknya kepingan CD yang mengendap di dalam kepalanya.
“Ryan.. Tolong dengar Ibu, nak!” tergopoh-gopoh ibu menyusul Ryan ke halaman. Anak laki-laki yang sangat disayanginya itu seolah tak mendengar suaranya yang bercampur dengan tangisan. Sakina adik perempuan Ryan menyusul dan segera memeluk ibu untuk menahan tubuhnya yang limbung.
“Kamu keterlaluan, Ibu sudah tak punya uang lagi!” Teriak Sakina marah. Tapi Ryan tak peduli. Cepat ditepisnya tangan Sakina yang ingin memukul lengannya.
Tanpa rasa bersalah Ryan membawa uang yang di temukannya di lemari dengan wajah kaku dan tanpa belas kasih sedikitpun. Tak terhitung, sudah berapa kali ia melakukan ini pada ibu. Ryan tak ingin menghitungnya. Seperti sebelumnya, Ryan hanya meyakini tak ada satupun yang dapat menghalangi dirinya mendapatkan apa yang dia butuhkan.
***
Lama tak pulang. Ryan resah. Uang dari ibu sudah tak bisa lagi di harapkan. Terakhir kali saat dia pulang ke rumah, ibu sedang sakit. Sakina langsung mengusir Ryan dan berteriak-teriak mengatakan bahwa dia adalah penyebab sakitnya ibu. Sakina bilang, Ryan pasti sudah mulai kecanduan.
Suatu hari menjelang malam, Ryan bergegas menuju sebuah rumah kosong di ujung komplek perumahan. Membawa beberapa bungkus pil ekstasi di dalam saku celananya. Ryan tak punya pilihan. Dia harus membantu temannya mengantarkan pesanan demi mendapatkan shabu-shabu gratis sebagai bayarannya.
Rumah itu memang sudah lama di tinggalkan. Sepi. Tertutup beberapa pohon rindang. Dua orang lelaki sudah menunggu. Duduk di lantai dengan botol-botol minuman tergeletak di kiri dan kanan. Kepulan asap rokok melayang di udara.
Ryan memegang erat saku celananya.
“Aku harus melakukannya..” bisik Ryan sambil melangkah cepat menuju pintu masuk. Seseorang menyambutnya sambil melirik kiri dan kanan takut ada yang melihat, lalu dengan cepat dia menarik Ryan ke dalam.Transaksi berlangsung cepat. Sungguh di luar dugaan akan jadi secepat itu. Ryan melangkah keluar. Tapi baru tiga langkah, suara keras di depan pintu mengejutkannya.
“Berhenti..!” tiba-tiba laki-laki berbadan tegap menghadang Ryan yang mendadak pucat pasi. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Tiga orang menyusul masuk membekuk semua yang ada di dalam termasuk Ryan. Mereka di kumpulkan dan dipaksa masuk ke dalam mobil. Seketika Ryan termangu, tak menduga nasibnya akan seburuk ini. Keringat masih terus membasahi sekujur tubuhnya. Sepanjang perjalanan menuju kantor polisi, Ryan tak berhenti mengutuk dirinya. Tertangkap saat melakukan transaksi narkoba adalah berita paling memalukan yang bisa ia persembahkan untuk ibu dan Sakina.
Sampai di kantor polisi, Ryan pasrah. Menunduk terpekur di lantai di cecar pertanyaan tentang keterlibatannya dalam transaksi narkoba yang ternyata telah di incar. Dengan barang bukti yang tak dapat terelakkan. Ryan merasa tak ada harapan. Tak ada yang akan membela. Penjara untuknya sudah menjadi satu hal yang pasti. Sepanjang malam Ryan merasa ketakutan. Beberapa jam lagi tubuhnya pasti memberontak. Menggigil, kepala pusing, jantung berdegup kencang dan berbagai rasa lainnya akan segera bermunculan sebelum ia mendapatkan serbuk shabu laknat itu. Ryan menutup matanya yang semakin berair. Malam semakin terasa menakutkan.
***
2 Januari, Ryan sedang menyapu halaman belakang penjara ketika seorang petugas memanggil namanya. Dua bulan sudah Ryan menjadi penghuni terali besi, tak seorangpun datang menjenguknya. Ryan terjerat dua kasus sebagai pemakai dan pengedar. Meski itu baru pertama kali dilakukannya. Ryan hanya menjalani semuanya semampu yang dia bisa. Dengan santai Ryan meletakkan sapu di sebuah tiang penyangga di dekatnya.
“Cepatlah Ryan.., kamu tidak akan senang mendengar kabar ini” hardik petugas itu kasar.
Ryan menahan diri untuk tidak berkomentar. Cepat di susulnya petugas itu menuju ruang tunggu. Ternyata Sakina yang datang berkunjung. Sakina berdiri dengan wajah tertunduk. Ketika dia mengangkat wajahnya, kedua mata Sakina terlihat bengkak.
“Kak, Ayo kita pulang sekarang. Aku sudah mengurus ijinmu untuk keluar sebentar.” “Maksudnya?” tanya Ryan bingung.
“Siang ini Ibu akan segera di kebumikan.” Bisik Sakina pelan. Air matanya berderai tak tertahankan. Kedua lengannya merangkul bahu Ryan yang juga terguncang menahan tangis. Ibu sudah pergi, dan Ryan tak punya kesempatan untuk memohon maaf ataupun mencium tangan ibu. Sakina menuntun Ryan yang di kawal dua orang polisi di kiri dan kanan. Hatinya hancur melihat apa yang di alami kakak laki-laki satu-satunya. Semenjak Ryan di tangkap, sakit yang di derita ibu semakin menjadi-jadi. Ibu tak mau makan karena selalu bertanya-tanya bagaimana keadaan Ryan di dalam penjara. Apakah Ryan mendapat makanan atau tidak. Sepanjang malam, Ibu selalu memanjatkan doa untuk Ryan. Menangis seolah sudah menjadi teman setianya. Sampai ajal menjemput.
Sampai di rumah, semua orang sudah bersiap mengantarkan jenazah ibu ke pemakaman. Ryan bersiap melakukan tugasnya sebagai anak laki-laki. Mengusung keranda di barisan paling depan. Sebenarnya Ryan tak sanggup berdiri tegak. Hatinya menangis mengingat semua akibat yang harus di tanggungnya. Menghabiskan tahun-tahun yang panjang di dalam penjara karena pergaulannya dengan narkoba. Yang membuat luka hati ibu semakin menganga. Dan sebagai puncak dari semua perbuatannya, Ryan harus mengantarkan jenazah Ibu ke pemakaman dengan baju yang melekat di badan, bukan baju koko, tapi baju seragam tahanan. Ratusan pasang mata menatapnya kasihan.
***
Ryan mengusap pelan nisan ibu dan ayah, lalu berdiri meninggalkan pemakaman. Ryan harus membayar mahal semua kesalahan yang pernah di buatnya. Dia harus mencari adiknya Sakina yang kini entah berada di mana. Sekaligus berjanji akan mendoakan kedua orang tuanya sepanjang umurnya. Sepanjang hayatnya.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H