Mohon tunggu...
Wa Wicaksono
Wa Wicaksono Mohon Tunggu... profesional -

writer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gelitik Asyik "Mastodon & Burung Kondor" Karya Rendra

26 Juli 2011   06:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:22 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_125141" align="alignnone" width="524" caption="Tiket Rp 50.000,-, Rp 100.000 & Rp 200.000,- info pemesanan: SEPTIAN 0857.8097.3321 & NURMA NITA 0898.9004.693"][/caption] Ada apa dengan pementasan teater, "Mastodon dan Burung Kondor" karya Rendra? Boleh jadi Mastodon adalah sosok penguasa. Mungkin saja, Burung Kondor adalah kita, rakyat yang gundah, mungkin terjajah, dan tak lagi tahu mana yang benar dan salah. Menonton pementasan ini, tentunya kita bisa berharap untuk melihat cermin seni, dan menemukan negara, kita, dan semuanya ada di sana. Mungkin saja menemukan wajah panggung politik yang tengah merunyik di saat-saat sekarang, dalam karya sastra yang semoga bisa sedikit bicara seadanya. Hehehe... bicara seadanya tapi bisa mengungkap berjuta cela bagi mereka yang merasa. Lihat saja apa yang dikatakan salah satu lakon dalam drama ini, Jose Karosta. "Aku memberi kesaksian bahwa naiknya pendapatan nasional tidak berarti naiknya pendapatan rakyat per kapita. Aku memberi kesaksian bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal asing tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran. Aku telah melihat pabrik semir sepatu dengan modal asing didirikan di Kota San Pedro, hanya tiga puluh orang pribumi…" "Pemerintah telah bersungguh-sungguh membiba tenaga tidak untuk mobilitas, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk menciptakan semut-semut yang bekerja tetapi barisan gajah yang suka serba mempertahankan. Saya memberikan kesaksian akan adanya satu kekhawatiran bahwa gajah-gajah akan beranak pinak. Sehingga dalam tempo singkat seluruh padang belantara, diseluruh hutan rimba, di lembah-lembah dan bahkan di lorong kota akan di penuhi oleh gajah-gajah yang lalu menjadi mastodon-mastodon dengan gerak-gerak kaki yang terlalu berat dengan tubuh-tubuh yang terlalu tegak dengan gading-gading yang perkasa dan memusnahkan alam secara lahap. " Wah... sastra berpolitik atau politik sastra atau sastra kritik politik atau politik sastra kritik atau.... dan atau banyak lainnya. Apapun sebutannya, biarlah. Biarlah apa pun sebutannya kita bebas mengatakannya. Toh katanya ini negara demokratik. Semua orang bebas dan berhak mengutak-atik sekehendak hatinya. Tentu saja asal tidak merugikan orang lain. Yang jelas, sekarang  politik di negara ini, tengah membikin gerah. Sampai-sampai semua orang tergoda ikut-ikutan berulah. Politikus, kritikus, akademikus, media dan banyak lainnya, berlomba-lomba mencari celah. Akibatnya, bukannya menjalankan amanah, yang terjadi justru membuat rakyat gundah. Mana yang benar dan mana yang salah seperti tak bisa lagi dipilah-pilah. Untungnya masih ada karya sastra yang bisa kita harapkan memberikan sedikit pencerahan. Sastra yang mampu menggelitik tapi tetap terasa asyik. Sastra yang nyaman di mata, di rasa, dan semoga saja bisa bermakna bagi semua. Yuk kita tontong saja Mastodon dan Burung Kondor ini dengan hati dan pikiran yang terbuka. Semoga ada kebajikan yang bisa kita bawa dari sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun