Mohon tunggu...
Wa Wicaksono
Wa Wicaksono Mohon Tunggu... profesional -

writer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

"Rumah Pelantjong", Pasar Swalayan "Pelan" Pertama Dunia

13 Juni 2011   10:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:33 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang murid bertanya kepada gurunya, mengapa ia selalu nampak berbahagia setiap saat. Apapun situasinya. Biarpun ketika sang guru makan tanpa lauk, ia makan dengan lahap dan sangat berbahagia. Sang guru membalas dengan senyum, dan kata beliau, “Apa alasan kita untuk tidak berbahagia ? ” Sang murid menggeleng bingung. Sang guru melanjutkan “Kita tidak berbahagia, ketika kita mengejar segala-galanya dan dikalahkan waktu. Bukankah kita akan bahagia selama hidup kita satu irama dengan waktu ?” Cerita Zen tadi diceritakan guru spiritual Kafi Kurnia, hampir 20 tahun yang lalu. Saat itu Kafi diajarkan untuk memperlambat hidupnya, menikmati jedah, dan tertawa setiap kali ada kesempatan. Percaya atau tidak hal inilah yang menyelamatkan kehehidupan Kafi Kurnia selanjutnya. Lebih dari 5 tahun kemudian, di Bali, sambil menikmati senja yang turun di Jimbaran, seorang teman sambil bergurau, bercerita tentang keinginan-nya untuk hidup bermalas-malas-an. Karena bermalas-malasan adalah kemewahan hidup yang berikutnya. Ide itu melekat kuat dalam benak Kafi Kurnia. Dalam 10 tahun berikutnya, ide itu berkembang liar. Dan barulah di kota Djogdjakarta, Kafi Kurnia belajar dan bersentuhan dengan filosofi hidup “Alon-alon Maton Kelakon”. Sebuah filosofi yang sering di salah tafsirkan, menjadi gaya hidup pelan-pelan saja. Alias semuanya serba lambat. Padahal filosofi hidup ini, mengajarkan sebuah gaya hidup yang penuh perhitungan, “goal oriented” dan hidup satu irama dengan waktu. Hidup yang tentrem, sentosa dan sejahtera. 2 tahun yang lalu, sebuah gagasan muncul, yaitu membuat sebuah revolusi “me-melankan hidup kita”, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup. Diseluruh dunia, gerakan pelan sendiri, telah menjadi sebuah revolusi gaya hidup. Begitu banyak aktivis, menulis buku dan membuat gerakan “pelan”. Mulai dari makanan hingga seni. Dengan tekad yang sama Kafi Kurnia, akhirnya bersama dengan teman-teman berniat membuat gerakan  dan kampanye “pelan” ala Indonesia. Kota Djogdjakarta dipilih sebagai titik muara gerakan ini. Pertama-tama kata dan sebutan kota Djogdjakarta, dikembalikan lagi pada versi panjang. Ini adalah langkah simbolis. Hidup kita penuh dengan singkatan yang berupaya mempercepat pengucapan. Sebuah upaya sia-sia yang tidak memiliki manfaat dan tidak menghemat apa-apa. Contoh, restoran cepat saji semuanya disingkat seperti KFC, McD, dan mall-mall dikota besar juga tak luput dari serangan penyingkatan, seperti CITOS, SUTOS, SENSI dstnya. Kedua, di pertengahan bulan Juni, Kafi Kurnia dan teman-teman akan memproklamirkan Djogdjakarta, sebagai Ibu Kota Pelan di dunia. Bukan sebagai ejekan atau pelecehan, tetapi sebagai sebuah aksi pemasaran untuk meletakan Djogdjakarta dipeta industry turisme dunia, yang memiliki keunikan budaya, dan keindahan alam, serta atraksi gaya hidup yang memiliki kualitas hidup yang sangat tinggi. Kafi Kurnia dan teman-teman, berharap aksi pemasaran ini akan menggairahkan dan menumbuhkan potensi pariwisata Djogdjakarta sehingga menjadi salah satu tujuan wisata Indonesia selain Bali. Agar turis dan konsumen, bisa menikmati “pelan” ala Djogdjakarta, maka Kafi Kurnia dan teman-teman mendirikan sebuah pasar swalayan “pelan” pertama di dunia. Di beri nama “Roemah Pelantjong”, diareal lebih dari 1.500 m2, terletak di Jalan Raya Magelang Km 8 , disebelah kiri, arah kembali dari Borobudur, Kafi Kurnia, menggelar sejumlah atraksi dimana turis dan konsumen, bisa mencicipi “pelan” lewat sejumlah penterjemahan, seperti makanan pelan, minuman pelan, musik pelan, permainan pelan, budaya pelan, seni pelan hingga oleh-oleh pelan.  Roemah Pelantjong juga memiliki Minioboro, yaitu sebuah versi mini Malioboro yang bekerja sama dengan 14 pengusaha UKM untuk menggelar karya industri cindera mata kreatif yang menampilkan produk-produk limbah, daur ulang dan karya kontemporer. Dilantai 2 Roemah Pelantjong juga ada sebuah art gallery, toko buku, dan took music, yang diberi nama Lentur Gallery, diambil dari bahasa latin Lentus, yang sama artinya yaitu fleksibel dan lambat  Di galeri ini, rencananya akan menjadi ruang pamer utama Roemah Pelantjong, dimana akan digelar karya-karya terbaik putra dan putrid Djogdjakarta. Disamping menjadi tempat ajang pameran seni, dari waktu ke waktu, Roemah Pelantjong juga akan menggelar berbagai sayembara foto, desain kaos, desain grafis, dsbnya, yang pemenangnya akan dipamerkan di Lentur Gallery. Atrakasi yang paling menarik, barangkali adalah keberadaan artis komik dan karikatur Ismail Sukribo, yang dikenal dengan komik karikaturnya di Koran Kompas setiap hari Minggu, akan menjadikan Roemah Pelantjong sebagai galeri tetap tokoh KRIBO, sehingga konsumen dan turis bisa berinteraksi dengan karya-karya beliau secara langgung. Di tahun 2011, KRIBO akan menggagas sebuah kampanye DJOGDJAKARTA Slowly Asia. Yang dijamin akan heboh dan geger. Roemah Pelantjong akan diresmikan pada 18 Juni 2011. Dan dalam waktu 6 bulan mendatang Roemah Pelantjong akan membuat sebuah forum advokasi, yang menyertakan para pemilik losmen, hotel, café, restoran dan spa untuk membuat sebuah peta pengalaman pelan ala Djogdjakarta. Sehingga gagasan ‘pelan’ ala Djogdjakarta, tidak hanya dinikmati oleh satu pihak, namun menjadi sebuah gerakan dari Djogdjakarta untuk Djogdjakarta. Pertumbuhan industry pariwisata ala ‘pelan’ Djogdjakarta ini bisa dinikmati secara keseluruhan oleh warga Djogdjakarta secara merata. Inilah cita-cita dan gagasan yang sesungguhnya. KAFI KURNIA berharap, aksi pemasaran industri pariwisata ROEMAH PELANTJONG akan bisa menjadi inspirasi dan template bagi daerah-daerah lain untuk melakukan branding dan aksi pemasaran dengan cara yang sama, yaitu menggali dengan dalam nilai-nilai luhur dari budaya setempat, dan mengemasnya menjadi sesuatu yang luar biasa uniknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun