Mohon tunggu...
Sangkala Mattayang Banngi
Sangkala Mattayang Banngi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kumpulan Khutbah Jumat Pilihan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rekonstruksi Makna Emansipasi

15 September 2015   22:10 Diperbarui: 15 September 2015   22:10 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sampai detik ini term “diskriminasi” tampaknya masih menjadi term paling popular dalam isu kesetaraan gender. Sejatinya perbedaan dua kutub lelaki dan perempuan sudah menjadi perdebatan sejak berabad-abad lalu. Sejarah peradaban perempuan memang dihadapkan pada dua realitas yang sangat kontras selama ini. Realitas pertama adalah keterasingan perempuan dari pentas eksistensinya yang dapat kita lihat dalam sejarah di berbagai belahan bumi dan yang terparah adalah di zaman Jahiliah, dimana perempuan tidak punya hak sama sekali, baik hak suara, hak waris bahkan hak untuk hidup, sedang realitas kedua adalah realitas liberal dan permisif (serba boleh) dimana perempuan diberi kebebasan sebebas-bebasnya.

Fakta menunjukkan bahwa sampai sekarangpun masih banyak perempuan yang terjajah secara intelektual dan secara kultural. Sebagian besar perempuan Indonesia khususnya, masih sulit untuk memperoleh pendidikan, bukan hanya karena faktor ekonomi tetapi juga konstruk sosial yang masih melekat di masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang tak lepas dari tugas DSP (Dapur, Sumur, Kasur), sehingga pendidikan dianggap tidak begitu penting bagi perempuan.

Kondisi ini kemudian memunculkan opini baru yang berkembang di masyarakat. Satu opini ekstrim tentang emansipasi yang menganggap perempuan yang bekerja di rumah adalah inferior, sekunder dan marginal sehingga ‘mewajibkan’ perempuan untuk berperan aktif di public sphere. Konsep ‘emansipasi’ ini tentu sangat berlebihan. Permasalahan tentang eksistensi perempuan masih akan menjadi sejarah panjang selama perempuan tidak berusaha memahami dan menghargai eksistensinya di muka bumi ini. Di bawah ini beberapa hal yang patut di pertimbangkan oleh perempuan berkenaan dengan penghargaan atas eksistensinya dan sebagai upaya untuk mengeliminir stigma ‘inferior’ pada perempuan:

Self awareness (kesadaran diri)

Penghargaan pada perempuan harus dimulai dari kesadaran pada diri perempuan itu sendiri. Hal ini harus dimulai dari kesadaran perempuan akan pentingnya eksitensi dirinya, bahwa keberadaan perempuan adalah organ yang vital dalam sirkulasi kehidupan di bumi ini. Karena dari rahim perempuan lahir tokoh-tokoh pembangun dunia, juga dari rahim perempuan bisa lahir tokoh penghancur dunia. Perempuan adalah makhluk yang menempati posisi paling strategis dalam pembentukan generasi di bumi ini. Dengan kesadaran ini, maka perempuan akan merasa sangat berarti keberadaannya, terlepas dari peran apapun yang dijalaninya. Disini juga perlu konstruksi pemahaman peran, bahwa peran alami yang diberikan kepada perempuan sebagai ibu rumah tangga bukanlah peran yang inferior tapi justru peran yang sangat penting.

Self empowerment (pemberdayaan diri)

Pemberdayaan diri pertama-tama harus disentuh dari segi pendidikan perempuan (dalam konteks pendidikan yang tidak dikotomis). Setelah menyadari keberadaannya, maka perempuan mulai menyadari tugasnya dan mulai menyusun strategi untuk melaksanakan tugas tersebut. Karena itu pendidikan bagi perempuan sangatlah penting, bukan dalam rangka ingin ‘merebut’ posisi laki-laki di berbagai bidang, tapi justru untuk memantapkan peran strategisnya yang utama sebagai seorang generation creator, first educator, sampai menjadi pillar of Nation. Dengan pendidikan juga akan menaikkan posisi tawar (bargaining power) perempuan dalam rangka mendekonstruksi stigma ‘ketidakberdayaan’ perempuan.

Self Appreciaton (penghargaan terhadap diri sendiri)

Hal ini penting, karena sering kali perempuan justru mendekonstruksi kediriannya dengan cara menghargai dirinya. Saat ini, ketika bicara tentang perempuan, tidak akan pernah jauh dari hal-hal yang bersifat kebendaan, seperti penampilan fisik dan kecantikannya. Lihat saja majalah, koran, atau media elektronik, hampir setiap detik setiap waktu akan dihiasi oleh wajah cantik perempuan dengan berbagai gaya sebagai duta entertainment, atau advertisement yang mengagungkan fisik perempuan. Jarang sekali perempuan ditampilkan di media karena prestasinya, karena kepandaiannya, atau kecerdasaannya, kalaupun ada porsinya masih sangat kecil. Memang ini sumbangsih konstruksi sosial yang melahirkan eksploitasi perempuan secara samar. Tetapi hal ini juga berawal dari sisi si perempuan sendiri yang senang jika dihargai karena faktor fisiknya, bukan karena potensinya. Disinilah perlu ditanamkan self appreciation, atau penghargaan pada diri sendiri, bahwa perempuan diciptakan bukan sebagai ‘magnet pemikat’ yang suka diekspolitasi bagian-bagian fisiknya, tetapi perempuan juga harus menghargai dirinya sebagai aset berharga bagi peradaban dunia ini dengan kemampuan potensi dan prestasinya.

Rekonstruksi makna “Emansipasi”

Emansipasi saat ini telah menjadi term favorit bagi perempuan. bahkan segala hal yang terkesan ‘nyeleneh’ yang dilakukan kaum perempuan hanya cukup dijawab dengan kata emansipasi, seperti “ini emansipasi loh..!!” sehingga term ini seakan menjadi benteng bagi kebebasan perempuan dalam menisbatkan segala tuntutan kesetaraan yang sering kali berlebihan. Term ini sudah lama merasuki jiwa perempuan yang merasa dirinya terbelenggu dalam keterbatasan, sehingga tidak mungkin untuk dihilangkan. namun makna ini perlu di‘rekonstruksi’. Emansipasi harus dimaknai sebagai usaha untuk memaksimalkan potensi perempuan yang merupakan bagian dari khalifah di bumi ini seperti halnya laki-laki tanpa harus menanggalkan fitrah yang telah diberikan Allah kepadanya.

Perempuan bisa jadi peneliti, politisi, akademisi, tanpa harus melepas tanggung jawab kediriannya sebagai ‘perempuan’, seperti menjadi ibu rumah tangga atau pendamping setia untuk perkembangan anak-anaknya. Jika ini dianggap sebagai double burden, maka perlu dipertanyakan seperti apa perempuan ingin diakui eksistensinya, apakah harus bertukar posisi, lelaki yang mengandung dan melahirkan? Tentu mustahil. Artinya perempuan juga harus proporsional, konsisten dan bertanggung jawab dengan pilihannya.


Oleh: Sri Mulyani, SS., M.Pd. Pemerhati Dunia Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun