KETIKA genderang perang sudah ditabuh oleh Prabu Girindrawardhana Raja Kediri untuk kesekian kalinya ke kutharaja Trowulan, hati Sang Prabu Brawijaya V menjadi luluh. ‘Perang hidup-mati’ antara pasukan Kediri dengan Majapahit yang identik dengan Prang Bratayuda Jayabinangun pun pecah di daerah Jingga, dekat kutharaja Trowulan. Karena banyak para Adipati atau Tumenggung yang mbelot dan bergabung dengan Prabu Girindrawardhana, tak ayal prajurit Majapahit pun keteteran menghadapi prajurit Kediri, sedang sebagian yang lain meregang nyawa.
Ya....., istana Majapahit telah tumbang! Peristiwa itu ditandai dengan candra sengkala; “Sirna ilang kertaning bumi” yang mengisyaratkan tahun 1400 Saka atau 1478 M.
“Sudahlah Putraku!” demikian kata Prabu Brawijaya V kepada Raden Patah, “Soal keyakinan janganlah dipaksa-paksakan! Silahkan kalian menjadi seorang muslim yang baik, tetapi biarlah Ramandamu ini tetap menjadi penganut Budha!”
Pasca lengser keprabon dari tahtanya,Prabu Brawijaya V mengajak dua orang abdi kinasih-nya Sabda Palon dan Naya Genggong pergi ke Gunung Lawu di kawasan Argo Lawu untuk menggapai kasampurnan atau moksa dengan menjalani dharma; yakni ber-semadi atau tapa brata!
Berhasilkah Prabu Brawijaya V menggapai cita-citanya, moksa?
Dan, berhasil pulakah upaya Raden Patah ‘mengislamkan’ Ramandanya Prabu Brawijaya V melalui ‘jago’ atau utusannya, Sunan Kalijaga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H