Mohon tunggu...
Wawan Susetya
Wawan Susetya Mohon Tunggu... -

saya,wawan susetya, mencurahkan perhatian secara penuh ke dalam penulisan buku. alhamdulillah sampai sekarang sudah 65-an buku saya, dengan genre agama (islam), budaya, dan novel terutama berbasis sejarah atau cerita rakyat dan pewayangan. pernah sih menjadi wartawan di kota malang selama 4 tahun dan dosen di univeristas muhammadiyah malang (umm) dan stikma internasional malang serta pernah pula terjun ke dunia politik (pkb) di zaman gus dur dan bergabung dengan komunitas cak nun & kiai kanjeng (cnkk). setelah itu pyur hanya menulis buku. mau berkunjung? silahkan kunjungi kami di www.wawansusetya.blogspot.com atau di face book; Wawan Susetya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Andai Syurga & Neraka Tidak Ada (PTS Millennia Malaysia)

27 April 2012   07:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:03 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama pena; Muhammad Hasan al-Basri

WACANA mengenai surga-neraka sudah dikenal oleh pemeluk Agama Islam sejak kecil. Bahkan tak jarang, anak kecil yang sok bandel seringkali ditakut-takuti dengan ancaman siksa neraka yang mengerikan; yakni digambarkan dengan api yang membara! Sebaliknya, untuk menggugah semangat anak-anak kecil dalam beribadah, tak ayal surga-lah yang dijadikan sebagai iming-iming alias harapan agar ia mau taat menjalankan perintah-Nya, misalnya mengerjakan shalat.

Meski demikian, hendaknya penyampaian wacana surga-neraka tersebut tidak mandheg atau stagnan (!), tetapi diteruskan, ditingkatkan, dan diarahkan pada penghayatan serta penjiwaan yang lebih mendalam. Apakah itu? Yakni menajamkan analisis dan apresiasi mengenai tauhid; meng-Esa-kan Allah Swt alias menomorsatukan-Nya. Ibaratnya, jangan mentang-mentang memberikan senyuman manis di Bulan Ramadhan itu berpahala, lantas Anda senyum-senyum terus kepada orang! Bagaimana kalau orang lain menganggap Anda telah sinting atau tidak waras?! Semuanya harus tetap proporsional.

Itulah sebabnya, mengerjakan ibadah yang dilandasi karena ingin mengharap pahala atau surga-Nya saja—pinjam istilah Emha Ainun Nadjib—hal itu masih pencapaian pada ‘terminal pertama’, yang hendaknya diteruskan pada ‘terminal kedua’ atau terakhir; yakni karena taat (cinta, mahabbah kepada-Nya)! Atau, pandangan tentang pahala (surga) itu, ibaratnya hanya sebatas satu wajah permukaan sekeping uang, yang semestinya dilanjutkan dengan permukaan wajah keping uang lainnya, sehingga menjadi bolak-balik dalam satu keping mata uang. Dengan demikian, dalam menjalankan ibadah apa saja—baik yang ibadah mahdhah (khusus) atau ibadah umum—bukan dilandasi karena ingin meraih pahala atau surga-Nya, tetapi semata-mata karena ketaatan atau kecintaan kepada-Nya. Subhanallah, hanya hamba-hamba-Nya pilihan saja yang bisa menerapkan amaliyah seperti itu.

Dalam sejarah peradaban mengenai peribadatan, setidaknya memang ada tiga alasan mengapa manusia menjalankan ibadah.

Pertama, manusia beribadah karena merasa takut terhadap siksa neraka.

Kedua, manusia beribadah karena ingin mendapatkan pahala (surga).

Ketiga, sebagian kecil manusia ada yang beribadah karena semata-mata taat (cinta) kepada-Nya.

Dan, orang yang taat, cinta, serta senantiasa berdzikir (mengingat-Nya) siang dan malam, mereka bukan saja mendapatkan surga tertinggi (Surga Firdaus), tetapi juga mendapatkan bonus di dalamnya; yakni memandang wajah Allah yang mulia, sebagaimana firman-Nya: “Wajah-wajah para ahli surga pada hari itu berseri-seri, karena dapat melihat kepada Tuhannya.” (QS Surah Qiamah: 22-23).

Inilah sebenarnya cita-cita tertinggi yang ditempuh para kekasih sejati-Nya, seperti tokoh sufi perempuan Rabi’ah al-Adawiyah, Syibli, Dzun Nun al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, Ibrahim Bin Ad-ham dan sebagainya. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang beriman dan bertakwa ketika di dunianya, sehingga wajarlah jika kelak mendapatkan bonus ganjaran: yakni memandang wajah-Nya yang agung.

Menurut M Quraish Shihab, memang ada kenikmatan yang melebihi nikmatnya surga, yakni mendapatkan ridho Allah Swt. Dan, substansi ridho Allah identik dengan ketaatan dan kecintaan kepada-Nya, yang akhirnya dibalasi dengan bonus tertinggi; yakni memandang wajah Allah. Bahkan, mereka bukan saja menikmati indah dan cantiknya para bidadari beserta kenikmatan lainnya di surga, tetapi juga nikmatnya bermunajat, berdialog serta ber-musyahadah kepada Allah.

Di dalam kitabnya yang sangat terkenal, ‘Al Hikam’ (1984), Syech Ibnu Atho’illah Asy-Syakandary  mengatakan dengan butiran mutiara indahnya: “Nikmat itu meskipun beraneka bentuk warnanya hanya disebabkan oleh karena melihat dan dekat kepada Allah, demikian pula siksa walau bagaimana pun aneka macamnya hanya karena terhijabnya dari Allah, maka sebabnya siksa itu karena adanya hijab, dan sempurna nikmat itu ialah melihat Dzat Allah Yang Mulia.”

Al-Anshari—sebagaimana dikutip HAMKA dalam ‘Pelajaran Agama Islam’ (1989)—seorang tokoh sufi pernah mengungkapkan refleksinya: “Orang lain ingin melihat wajah-Mu ya Tuhan! Tetapi aku sendiri ingin supaya Engkau melihat wajahku!”

Tak kalah hebatnya, Syibli sedang membawa sepotong kayu yang terbakar kedua ujungnya. Melihat adegan aneh itu, orang-orang pada bertanya dengan keheranan, lalu Syibli menjawab: “Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung kayu ini dan surga dengan api di ujung lainnya, sehingga manusia mengabdi karena Allah semata-mata.”

Dalam ‘Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib’ disebutkan ketokohan Rabi’ah al-Adawiyah, yang terkenal dengan ‘maqam mahabbah’ kepada-Nya. Ia memohon agar badannya membengkak supaya memenuhi seluruh neraka, sehingga tak ada orang yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Kalau malam ia suka keluar rumah membawa obor, dan berkata ingin membakar surga supaya orang mengabdi kepada Tuhan tidak karena mem-pamrih-kan surga. Atau ia membawa air di ember untuk menyiram neraka, supaya orang beribadah tidak takut kepada neraka.

Semua itu menunjukkan kemesraannya dengan Sang Khaliq, karena kedekatan mereka kepada-Nya. Kalau menurut pemikiran Emha (lihat; Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib), bahwa para kekasih Allah tersebut senantiasa berpijak pada ‘bener kang sejati’ (benar yang haq); bukan sekedar ‘benere dhewe’ (benarnya sendiri) dan ‘benere wong akeh’ (benarnya orang banyak; kebenaran umum)! Tentu, kebenaran sejati (haq) bersumber dari muara telaga-samudera ilmu-Nya yang tak terbatas.

Dengan buku sederhana yang berjudul ‘Andai Syurga & Neraka Tidak Ada’, penulis bermaksud mengajak kepada pembaca untuk ‘menjelajahi’ surga-neraka dalam perspektif keagamaan (Islam) secara komprehensif, sehingga menemukan esensi Islam; yakni semata-mata beribadah kepada Allah Swt secara ikhlas lahir-batin tanpa pamrih-pamrih semu lainnya. Siapa tahu di antara kita semua ada yang tercerahkan batin dan nurani-nya, sehingga dada terasa lapang dan tidak sesak karenanya menerima karunia hidayah-Nya, yakni berupa kandungan ajaran Islam yang haq. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun