Alhamadulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan daya kepada penulis, sehingga mampu merampungkan sebuah buku sederhana yang berjudul; Menguak ‘Cinta Segitiga’ Muhammad Saw! (Meneladani Kepribadain Muhammad sebagai Manusia).
Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah memberikan bimbingan kepada kita semua dengan memeluk Agama Islam, semoga kita semua di hari kiyamat kelak mendapatkan syafaatnya.
Masyarakat Makkah-Arab telah mengenal kepribadian Muhammad sebagai ‘Al-Amien’ (dapat dipercaya),sehingga orang-orang tak meragukan dengan risalah tauhid yang dibawanya. Apalagi, Muhammad berasal dari keluarga Bani Hasyim yang disegani masyarakat Arab saat itu, sehingga menambah kewibawaannya dalam berdakwah kepada masyarakat. Yang lebih menggembirakan lagi, yakni adanya empat sifat utama yang dimiliki Muhammad, yakni; fathonah (cerdas), amanah (bertanggung jawab), shidiq (jujur), dan tabligh (menyampaikan). Dan, wajarlah jika Allah memuji kepribadian Muhammad sebagai orang yang berkepribadian agung (Al-Qalam; 4).
Allah Swt menginformasikan keberadaan Muhammad Saw di tengah-tengah kaum muslmin: “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah: 128).
Dalam kepemimpinannya, Rasulullah Saw selalu membimbing para sahabatnya semua dengan penuh cinta dan bijaksana, padahal mereka beraneka ragam kharakernya, sifatnya, wataknya, kesukaannya, kebiasaannya, bahkan hingga hobinya dan sebagainya. Meski demikian, Nabi Saw senantiasa membimbing mereka dengan mengarahkan kepada mereka sesuai dengan kharakter kepribadiannya. Rasul bukan saja membina agar kepribadian mereka menjadi baik, tetapi sekaligus Rasulullah Saw menjadikan para sahabat dan masyarakat merasa aman dari kesengsaraan atau siksaan-Nya sebagaimana diisyaratkan dalam ayat: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka, sedang kamu (Muhammad) berada di antara mereka.” (QS Al-Anfal: 33).
Keberadaan Rasulullah di tengah-tengah para sahabatnya, tentu saja mendatangkan kebahagiaan dan ketenteraman bagi para sahabat dan masyarakat Madinah, sehingga mereka pun beriman kepada wahyu yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Saw. Rasulullah pun mencintai mereka, sedang mereka pun mencintai Baginda Nabi. Bahkan, mereka mencintai Rasulullah seperti mereka mencintai diri mereka sendiri dan ada pula yang mencintai Rasul melebihi kecintaannya kepada diri mereka sendiri dan keluarganya.
Dalam kancah pergaulan dan persahabatan sehari-hari, cakrawala pengajaran kepemimpinan Nabi Saw kepada para sahabatnya memang sangat membekas di lubuk hati para sahabatnya, terutama empat sahabat Muhammad Saw; Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib. Mereka, empat sahabat Nabi Saw tersebut memang memiliki integritas kepribadian yang sangat dahsyat yang merupakan kepribadian hasil gemblengan Rasulullah Saw!
Muhammad, dalam gebrakan dakwahnya ternyata sangat peduli kepada kaum lemah; Rasulullah membangkitkan, membebaskan, memperjuangkan, menemani serta hidup di antara kaum tertindas (mustadh’afin), dipinggirkan, dianiaya, didholimi, rakyat kecil yang miskin (dhu’afa) … Wajar kiranya jika Beliau juga mendapat gelar “abu masakin” (bapak orang-orang miskin).
Kepada sahabat-sahabatnya yang menanyakan tempat yang paling baik untuk menemuinya, Beliau menjawab: “Carilah aku di antara orang-orang yang lemah di antara kamu. Carilah aku di tengah-tengah kelompok kecil di antara kamu.” Lebih dahsyat lagi, doa yang biasa dilantunkan Rasulullah Saw: “Ya Tuhan, hidupkan aku sebagai orang miskin, matikan aku sebagai orang miskin, dan bangkitkan aku di hari kiamat bersama kelompok orang miskin pula.”
Karena itulah, perjuangan Rasulullah di tengah-tengah masyarakat makin lama makin mendapatkan perhatian dan simpati masyarakat secara luas. Keharuman namanya bukan hanya dirasakan oleh golongannya saja, tapi juga para musuhnya. Lebih-lebih tugas yang diembannya adalah untuk seluruh umat manusia, sehingga perjuangan Muhammad Saw seolah melaju terus tiada henti-hentinya hingga Agama Islam pun jaya pada masa Rasulullah.
Peran atau posisi Muhammad Saw dalam kehidupannya setidaknya dapat dibagi menjadi beberapa hal, di antaranya sebagai Nabi/Rasul, hakim yang memutuskan perkara, mufti (pemberi fatwa), pemimpin masyarakat atau negara, dan Muhammad sebagai pribadi. Dari peran atau posisi Muhammad Saw seperti itu, ketika Muhammad sedang berbicara dalam posisinya sebagai Nabi atau Rasul Allah, maka perkataannya pasti benar dan berlaku, karena ia dibimbing langsung oleh Allah Swt. Itulah sebabnya, figur kepribadian seperti Muhammad—utusan-Nya yang terakhir—tentu orang pilihan dan hamba Allah yang istimewa, lantaran tak lepas dari peranan Allah dalam kehidupannya.
Dan, menurut Jamal Albana—dalam bukunya ‘Runtuhnya Negara Madinah’ (Islam Kemasyarakatan versus Islam Kenegaraan), 2005—salah satu keberhasilan Rasulullah Saw adalah kekokohannya dalam memegang dasar akidah dan mampu menolak godaan apapun, hingga Rasul bersabda dengan kalimatnya yang bersejarah: “Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku (Rasul) meninggalkan agama ini, aku tak akan meninggalkannya.”
Dalam aplikasinya sehari-hari, akhirnya para sahabat tersebut memiliki empat kebiasaan yang sangat positif; yakni membaca Al Qur’an (berdzikir atau membaca wirid-wirid), berdakwah, berdiskusi mengenai ilmu, dan berdagang (bisnis). Tentu, pelaksanaan ibadah secara umum pun tetap berlangsung secara baik, misalnya silaturahmi, berpuasa sunnah, shalat malam, bersedekah dan seterusnya.
Muhammad Saw memang mendapat tugas menyampaikan risalah tauhid—menomor-satukan Allah atau meng-Esa-kan-Nya—menyampaikan dakwah dan syi’ar Agama Islam kepada seluruh umat manusia sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah (hai Muhammad)! Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku ini adalah Rasul untuk kamu semua.” (QS 7: 158).
Ia (Muhammad) didatangkan oleh Allah ke muka bumi—pinjam istilah Emha Ainun Nadjib—sebagai ‘agen rahmatan lil ‘alamien’; untuk seluruh umat manusia! Muhammad Saw, dengan demikian pula, ia sebagai ‘Nabi Pamungkas’ yang tak ada nabi lagi setelah kehadirannya. Makanya, jelas Nasruddin Razak—dalam bukunya ‘Dienul Islam’ (1990)—Muhammad Saw disebut pula dengan Nabi/Rasul Internasional, lantaran risalahnya bersifat universal, mendunia-global yang ditujukan kepada seluruh manusia, semua ras, bangsa dan bahasa sampai ke ujung zaman. Itulah sebabnya, risalah atau ajaran yang dibawanya sudah sempurna untuk memimpin manusia demi menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Muhammad Saw, dalam tugasnya memang sangat berat, karena menghadapi kebobrokan moral masyarakat Arab yang dikenal sebagai masyarakat Jahiliyah Quraisy Arab, karena beberapa faktor, yakni;
Pertama, mereka penyembah berhala dalam jumlah banyak, bukan hanya Lata dan Uzza, bahkan sampai mengadakan kontes (lomba) berhala yang jumlahnya mencapai 365 buah.
Kedua, mereka mengadakan pemujaan terhadap berhala di sekitar Ka’bah Makkah waktu itu dengan keadaan setengah telanjang hingga telanjang bulat yang bercampur antara laki-laki dan perempuan! Bisa dibayangkan, kalau laki-laki berkumpul dengan perempuan dalam keadaan telanjang bulat, lantas apalagi yang terjadi jika bukan adegan seks bebas?!
Ketiga, mereka menimbun hidup-hidup bayi-bayi perempuan mereka karena merasa kecewa atau malu; mengapa anaknya bukan laki-laki? Jelas, tindakan itu lebih kejam (karena bayi-bayi itu ditimbun terlebih dahulu hingga mati) bila dibandingkan dengan kekejaman tentara Raja Namrud (di zaman Nabi Ibrahim) dan Raja Fir’aun (di zaman Nabi Musa) yang juga membunuh setiap bayi laki-laki dengan menebas lehernya!
Muhammad Rasulullah Saw memang tidak mewariskan emas dan perak atau harta benda lainnya kepada keluarga, tetapi berwasiat kepada umatnya: “Hai manusia! Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selamanya selagi berpegang kepadanya, yaitu Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah Nabimu.” (Al Hadits).
Manusia, sebenarnya oleh Tuhan telah dibekali dalam dirinya sifat hanief; yakni condong dari yang bengkok pada yang lurus; condong dari kesesatan kepada petunjuk, dari bathil kepada yang haq, dari yang gelap menuju terang-benderang! Dan, itulah sifat fitrah manusia yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H