Indonesia adalah negri yang kaya raya, berlimpah sumber daya alam dari sabang sampai merauke, mungkin kira-kira seperti itu yang sering kita dengar. Sekilas tidak ada yang salah atas ungkapan seperti itu. Tapi mari kita maknai semua itu. Mulai dengan kita mendefenisikan makna kaya, sejati kaya yang banyak orang pahami ialah ketika memiliki barang atau harta tertentu dalam jumlah yang melimpah tanpa memikirkan apakah harta atau kekayaan tersebut adalah milik pribadi atau masih kredit. Banyak memandang yang penting punya saja dulu urusan itu kredit, pinjam atau cara-cara memiliki lainnya itu sudah disebut kaya dan uniknya lagi walaupun barang tersebut sudah digadaikan masih saja orang itu berstatus kaya. Jadi kaya adalah memiliki walaupun tak dapat menikmati. Bila kita tarik pada ranah negara ini apakah masih mengatakan negri ini kaya raya selama kita hanya memiliki semua sumber daya alam yang bisa habis ini padahal kita tidak menikmatinya ?
Guru-guru disekolah dasar selalu menjelaskan keadaan Indonesia versi 100 tahun yang lalu dimana saat itu sumber daya alam memang masih berlimpah ruah kepada anak-anak didiknya hingga anak-anak bangsa itu hanya berfikir bahwa negri ini adalah negri yang kaya raya dan membuat mereka selalu berada dalam posisi aman. Andai saja mereka sudah dapat informasi mengenai keadaan negri ini sejak dini bahwa apa yang mereka pahami saat ini sudah tidak terjadi lagi. Akhirnya mental anak negri menjadi mental yang “manja” karna masih berfikir kita kaya hingga menghabat kekreatifitasan anak-anak bangsa itu. Andai saja mereka tahu bahwa mungkin beras yang mereka makan sudah bukan dari pak budi sebagaimana yang mereka pelajari pak budi adalah petani, atau garam dan gula yang mereka nikmati sudah bukan dihasilkan oleh negri ini lagi atau bahkan tela-tela (makanan dari singkong) yang selama ini mereka nikmati juga sudah bukan ditanama di tanah yang mereka fikir kaya ini.
Ironis memang melihat kondisi saat ini, semua orang menganggap negri ini kaya raya karena defenisi kaya yang digunakan adalah memiliki bukan menikmati. Seperti diibaratkan memiliki rumah indah dan besar tapi kita masih kehujanan digubuk karena rumah yang kita miliki sedang digadaikan agar kita memperoleh sedikit uang untuk dapat bertahan hidup di gubuk itu. Anak-anak di negri ini pula masih harus tersenyum indah melihat gambar-gambar pepohonan hijau di buku-buku yang mereka peroleh dengan berbagai macam binatang-binta yang ada didalam hutan, padahal hutan-hutan itu kini telah gundul karena penebangan, telah tiada karena pertambangan. Kenapa anak-anak itu masih diperlihatkan kondisi bangsa ini 100 tahun yang lalu ? akhirnya anak negri ini baru mengetahui kebohongan itu setelah mereka selesai sekolah, selesai mental mereka mental “orang kaya” yang biasanya jarang berfikir kreatif. Mengapa tidak mengajarkan bahwa negri telah “miskin” karena kita memang memiliki sumber daya alam tapi kita tidak dapat menikmatinya untuk itu kalian harus berusaha agar besok negri ini menjadi negri yang kaya sesungguhnya bukan hanya memeliki tanpa menikmati.
Kaya bukan memiliki, tapi kaya adalah ketika mampu menikmati !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H