Itulah pertanyaan yang ada di benak saya. Dan untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya harus mempelajari secuil ilmu komunikasi, secuil ilmu psikologi dan secuil ilmu sosiologi.
Sulit untuk mendapatkan jawaban final atas pertanyaan tersebut. Ini adalah sebuah perjalanan yang tidak pendek. (Saya menghindari menggunakan kata "panjang.") Sialnya (?) saya dulu belajar ilmu teknik. Mungkin saya tersesat. Tapi, itulah karunia dari Tuhan.
Saya memang tidak akan membaca semua text book dari ketiga cabang ilmu tersebut. Dan saya tidak akan membeli satu buku pun untuk itu. Saya tinggal googling, membaca banyak penelitian yang disediakan secara gratis.
Catatan pertama yang saya dapatkan adalah tentang makna identitas. Identitas adalah kemampuan seseorang untuk menjadi dirinya sendiri.
Menurut Siegfried Schmidt, kesadaran akan diri sendiri akan timbul jika seseorang mendapatkan refleksi dari orang lain. Menurut saya, kesadaran ini akan mengalami perubahan sifat menurut generasi. Pada masa lalu jiwa sosial seseorang sangat tinggi. Mereka sangat solider.
Mereka juga butuh orang lain, namun dalam kehidupan nyata. Mereka mewujudkan kebutuhan orang lain untuk mengisi identitas diri dalam bentuk arisan, gotong-royong, sambatan, slametan dan lainnya. Mereka kehidupan sosial mereka hangat.
Pada masa kini, terutama pada generasi Z atau generasi milenium (kelahiran setelah tahun 1990, dalam konteks media online dinamakan native connected, berkembang bersama media internet) mereka juga tetap butuh orang lain. Namun kehadiran orang lain tidak harus secara nyata. Bagi mereka telepon, SMS, media chating dan lainnya sudah mewakili tiap individu. Sehingga kehadiran nyata tidak diperlukan.
Masalahnya adalah jika proses refleksinya berbeda, yaitu antara kehadiran nyata dengan kehadiran melalui media komunikasi, maka hasil refleksi yang didapatkan juga akan berbeda.
Jika hasil refleksinya berbeda, maka konstruksi identitas yang didapatkan juga akan berbeda. Pada mereka yang lahir sebelum tahun 1990, sulit untuk melakukan manipulasi konstruksi identitas. Mengapa sulit? Karena konstruksi identitas harus didapatkan melalui pertemuan muka dengan muka, alias face to face.
Contohnya, Anda ingin mendapatkan identitas baru di suatu tempat yang Anda kunjungi secara runtin. Katakan, Anda melakukan kunjungan seminggu sekali di tempat tersebut.
Ketika Anda mengunjungi tempat tersebut, Anda menggunakan asesoris yang berbeda sebagai "topeng" agar identitas Anda berubah. Pertanyaannya, berapa lama Anda akan setia dengan "topeng" tersebut. Mungkin Anda berhasil mengubah identitas ketika berada di tempat tersebut, tapi butuh perjuangan untuk tetap setia pada "topeng" Anda.