Identitasku adalah bagaimana Aku memandang diriku sendiri dan bagaimana harapan pandangan orang lain kepadaku. Pada masa lalu, identitas dipahami sebagai sesuatu yang pasti, yang sudah hampir selesai berproses ketika orang tersebut sudah beranjak dewasa.
Namun kini situasi sudah berubah. Sebenarnya perubahan ini adalah sesuatu yang normal. Yang menjadi persoalan adalah kecepatan perubahan, sebagai imbas kemajuan ilmu dan teknologi. Perubahan, yang dulu linear, kini menjadi eksponensial.
Salah satu dampaknya adalah ada banyak pilihan pengelolaan identitas. Apakah identitas akan dibuat apa adanya, seperti kebanyakan orang. Apakah identitas akan dibuat lebih kalem, mengedepankan kerendah hatian. Ataukah identitas dibuat lebih "advance," berubah dengan cepat selama segala sesuatunya memungkinkan.
Sayangnya, kecepatan perubahan ini tak diimbangi dengan kesiapan mental. Lalu yang muncul adalah kecenderungan-kecenderungan alami. Salah satu kecenderungan alami adalah mendorong hak dan menekan kewajiban.Â
Motifnya adalah demi meraup "keuntungan" sebanyak-banyaknya. Keuntungan ini diberi tanda petik. Artinya keuntungan bukan semata soal uang, namun bisa juga status sosial, nama baik, kekuasaan (merestui atau tak merestui) dan sebagainya.
Misalnya, ada seorang yang semula adalah pekerja kantoran, kemudian terpilih menjadi anggota DPRD. Ia akan merasa memiliki lompatan identitas. Dari anak buah yang bekerja di berdasar perintah, menjadi orang yang mengawasi dan membuat perintah. (Paling tidak perintah kepada stafnya sendiri.)
Namun hal ini tak dilandasi dengan kesadaran akan makna menjadi anggota DPRD. Memang secara formal ia hapal apa arti menjadi anggota DPRD. Tapi apakah pengetahuan akan teori ini pasti sejalan dengan penghayatan. Hal ini akan kembali kepada pilihan pengelolaan identitas.
Jika ia memilih menjadi seperti kebanyakan orang, maka ia akan ikut arus. Jika teman-temannya patuh aturan, tentu anggota DPRD ini juga berpikir dua kali untuk tidak taat aturan. Jika ia memilih kalem, rendah hati, mungkin jabatannya memang anggota DPRD, tapi perilakunya dan penampilannya masih sama sebelum menjadi pejabat.
Lain halnya jika anggota DPRD ini memilih untuk melompat jauh ke depan. Ia akan memahami jabatan anggota DPRD sebagai kekuasaan. Ini lho aku, anggota DPRD yang terhormat. Lalu ia akan meminta orang lain untuk menghormatinya. Ini merupakan wujud dari prestasinya mengubah nasib dari pekerja kantoran menjadi anggota DPRD.
Inilah yang menjadi alasan mengapa beberapa oknum anggota DPRD, juga beberapa pejabat daerah, tidak mau taat aturan, minta dikecualikan. Misalnya soal aturan protokol kesehatan. Juga soal beberapa kali anggota DPRD berdebat dengan keras di dalam sidang, jika tak mau disebut berkelahi.
Memang benar mereka ini memiliki lompatan prestasi. Namun pola pikirnya, egonya, melompat jauh berkali-kali lipat dibanding prestasi nyata yang terjadi. Senormalnya orang malu dengan perilaku ini. Namun, tak tahu dengan segelintir oknum ini.