Telah agak lama penulis mulai membaca buku-buku filsafat. Pasnya sejak duduk di permulaan kelas dua madrasah Aliyah di pesantren. Walau, sampai kini, penulis merasa belum tahu banyak tentangnya, pinggirannya pun barangkali tidak.
Namun demikian, penulis sangat bersyukur telah dipertemukan dengan "barang antik" bernama filsafat itu. Bagaimana tidak, betapa pengetahuan yang sangat minim tentangnya dan diperoleh dari buku filsafat sendiri cukup membantu penulis untuk secara hati-hati mengamati jalinannya dengan Islam. Tidak terbayang oleh penulis apa jadinya jika dapat mendalami filsafat sampai "basah sebasah-basah"-nya, bukan hanya kecipratan permukaannya, agar tampak kemudian sisi "pribadi" dan "sensitive" darinya dan menjelajahi kemungkinan "mempelaminkan"-nya dengan agama.
Memang, ada apa dengan keduanya?
Beberapa waktu lalu, dalam salah satu kuliahnya, salah satu dosen penulis memperingatkan para mahasiswanya. "Awas, kalian jangan belajar filsafat!!! Jika tidak, kalian akan sesat!!!"tukasnya dalam terjemahan bahasa Indonesia. Jauh sebelumnya, sang dosen dengan bersemangat mengusulkan agar ilmu metode penggalian hukum Islam, ushul fiqh, "ditulis ulang", dalam arti yang lebih bersifat puritanisasi. Alasannya sederhana ; karena ilmu ini telah "terkotori" dengan masuknya ilmu kalam, ilmu yang juga dianggap sesat oleh sang dosen, dalam diskusi-diskusi ushul fiqh.
Hal ini, tentu saja, bukan hal baru dalam Islam. Jauh beberapa abad yang lalu, Imam Ibn Shalah rahimahullah telah mengharam-sesatkan filsafat seratus persen. Tidak ada kecuali. Dan, layak diakui bahwa hal inilah yang menjadi kecenderungan umum mayoritas kaum muslimin.
"Indahnya", dalam sejarah kaum muslimin, pendapat itu tidak "bujangan". Ia memiliki "pasangan". "Pasangannya" beragam, mulai dari hasil penjelajahannya al-Ghazali, Ibn Rusyd, al-Razi, wa alihi wa shahbihi ajma'in.
Tentu saja, tak berarti "pasangan" itu harus benar-benar seratus persen berlawanan dengan opsi pertama. Ada memang kecenderungan ke sana, seperti dalam karya-karya Ibn Rusyd. Hanya saja, tengah selalu saja ada di antara kanan-kiri, atas-bawah, depan-belakang, dst. Sangat lumrah bin wajar. Apalagi dalam dunia pemikiran, dunia yang tak sepenuhnya terang benderang akan kemana angin kebenaran berhembus dan bersemayam.
Anda tak perlu ragu bahwa ketiga tokoh yang disebut belakangan ini pasti telah menyerap banyak informasi "polos" mengenai filsafat ; informasi yang berbicara tentang dirinya melalui "mulutnya" sendiri. Bahkan, ketiganya telah mewariskan kepada kita karya-karya bermutu dalam bidang ini. Yang pertama telah meninggalkan "semacam" trilogi filsafat : Mi'yarul 'Ilm, Maqashidul Falasifah, dan Tahafutul Falasifah. Yang kedua bahkan telah terang-terangan mengenai nyambungnya agama dan filsafat dalam judul sebuah buku yang ditulisnya ; Fashlul Maqal Fima Baynasy Syari'ah Wal Hikmah Minal Ittishal (Kata Pemutus Mengenai Nyambungnya Agama dengan Filsafat). Lebih dari itu, ia telah di-ijma' akan kefilsufannya. Untuk yang ketiga cukup anda baca tafsir agungnya ; Mafatihul Ghaib. Saking banyaknya "ilmu-ilmu lain" yang diperbincangkan di dalamnya, tak terkecuali filsafat, sampai-sampai ia pernah "diejek" ; fihi kullu syay' illat tafsiyr (segala ilmu ada di dalamnya kecuali tafsir).
Lalu, mengenai tokoh berhaluan "mirip" yang pertama, adakah kita mesti yakin pula? Untuk saat ini, penulis tidak dapat "memaksa" anda untuk mempercayai hal yang sama dengan para tokoh berhaluan "mirip" yang kedua. Pasalnya, belum ditemukan-(atau memang tidak ada?)- karya yang cukup "mengernyitkan dahi" dari tokoh berhaluan "mirip" yang pertama mengenai masalah pelik ini. Juga, belum ada berita yang sampai mengenai hal ini. Hanya ada sedikit dugaan dalam diri penulis bahwa kenyataan-kenyataan yang sampai kepadanya mengenai filsafat adalah murni tanpa campuran, asli tanpa dikacaukan, dan polos tanpa penghakiman. Selebihnya adalah keraguan. Bukan karena penulis merasa lebih tahu dari mereka. Sama sekali tidak. Akan tetapi, al-hukmu 'alasy syay' far'un 'an tashawwurihi (menghukumi sesuatu adalah cabang dari gambaran tentangnya), bukan?
Bukan maksud penulis untuk menghakim-adili mereka yang berhaluan "mirip" yang pertama. Tapi, tidak sedikit kenyataan telah menampakkan kenyataan-kenyataan semacam ini. Dan, sepenuhnya penulis sadar, hal ini pun lumrah terjadi. Seperti dalam pepatah Arab ; annaas a'daa-u maa jahiluw. Manusia cenderung memusuhi apa yang tidak mereka ketahui.
Wallahu a'lam
ciganjur
28-06-2010