Beruntungnya negara yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah. Negara tersebut bisa meraup cuan bahkan dari pasar global yang memperebutkan komoditas tersebut. Namun rakyat negara tersebut justru malah kebanyakan ruginya karena lembaga yang mengelola terindikasi mencari cuan sebelum start.
Mengenai pengelolaan sumber daya alam di negara yang menganut sistem republik, memang lembaga negara yang dipercayakan. Namun lembaga yang memayungi sektor pertambangan malah kerap mengeluarkan kebijakan yang merugikan pengusaha dan lebih menguntungkan mereka. Ya bagaimana tidak, jika kebijakan ini seputar uang dan uang dari kocek pelaku industri dan rakyat.
Mari flashback sedikit pada kejadian di awal tahun 2022 yang terjadi. Adanya larangan ekspor batu bara sempat membuat pengusaha meradang. Pasalnya larangan ekspor dan kewajiban mematuhi DMO (Domestic Market Obligation) sangat mencekik lantaran harga domestik jauh lebih rendah dari harga pasar global. Meski kebijakan ini dihapus, namun hingga kini pemerintah negara tersebut belum menemui cara untuk menyamaratakan harga domestik dan harga global yang ditunggu-tunggu pengusaha batu bara.
Selain batu bara, komoditas selanjutnya yang disasar adalah timah. Tarif royalti timah yang sebelumnya flat 3 persen diwacanakan akan naik progresif sesuai harga timah pasar global nantinya.
Yang masih hangat selanjutnya terjadi ke pengusaha nikel. Produk olahan nikel seperti feronikel dan NPI (Nickel Pig Iron) bakal dikenakan pajak bila dilakukan eskpor. Padahal 2 produk tersebut juga buah hilirisasi. Pemimpin lembaga ini mengatakan bahwa produk nikel masih bisa diturunkan jadi NHP lewat proses HPAL. Hmm, mohon maaf, tapi nyatanya industri dalam negeri belum ditahap kesiapannya. Kebijakan ini juga ditunda.
Nggak cuma soal SDA mineral, upaya mengejar cuan juga diterapkan ke sektor lainnya. Ya, adanya pajak karbon yang akan mengenakan perusahaan industri yang masih memakai bahan bakar migas dan batu bara tentu saja buat menjerit. Itu sama saja dengan menagih pajak dari seluruh industri. Pasalnya di negara tersebut industri hijau baru 0,15 persen dari 29.000 jumlah industri skala menengah dan besar yang ada.
Program konversi kompor listrik juga dicurigai sebagai ajang cari cuan lagi. Untungnya program ini keburu didemo masyarakat lantaran kompor listrik cuma akan membuat tagihan listrik membengkak.
Sebenarnya apa, sih, yang sedang dilakukan lembaga yang mengelola sumber daya mineral di negara itu? Mengapa sebentar-sebentar buat kebijakan tanpa road map dan juntrungan yang jelas, lalu tiba-tiba dibatalkan atau ditunda. Bukankah lebih baik menyiapkan kebijakan secara sempurna baru disosialisasikan kepada masyarakat. Wajar saja 'kan, jadi banyak yang ngira ini ajang 'tes ombak' dalam mencari celah pendapatan tambahan yang nggak sama sekali menguntungkan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H