Pandemi Covid-19Â senyatanya menjadi bukti bahwa perekonomian Indonesia yang sebelumnya terpuruk bisa bangkit kembali jika dilakukan dengan bergotong royong! Di berita-berita kamu pasti kerap mendengarnya; perekonomian Indonesia bertumbuh, komoditas negara kita primadona, neraca perdagangan surplus, nilai ekspor meningkat, investasi Indonesia bangkit, dan masih banyak lagi. Ya, ekonomi RI perlahan membaik dengan sektor industri di hilir dan sektor pertambangan di hulu yang menjadi superhero-nya.Â
Seperti di daftar Realisasi Investasi yang rutin dirilis oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)/Kementerian Investasi. Pada semester 1 2022, realisasi investasi meningkat 32.0% secara year-on-year menjadi Rp584,6 triliun! Lebih lanjut pihak BKPM juga menjelaskan bahwa sektor industri pengolahan terutama industri logam dasar, bukan logam, bukan mesin dan peralatannya berkontribusi 42% dari total investasi. Disusul sektor pertambangan di peringkat kedua.
Tentu, besarnya realisasi investasi yang juga menjadi kabar bahagia bagi perekonomian negara ini tak luput dari peran besar investor. Dalam laporan Realisasi Investasi Semester 1 2022, dari triliunan dolar Amerika tersebut, kontribusi Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai Rp163,2 triliun. Sedangkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencapai Rp274,2 triliun, lebih dominan!
Masuknya pihak asing untuk mengembangkan sektor industri Indonesia tak perlu dihindari atau ditakuti. Bagaimanapun saat ini kita harus memahami bahwa Indonesia belum banyak mempunyai teknologi-teknologi mutakhir seperti yang ada di industri luar negeri. Selain itu diperlukan juga transfer knowledge-skill-technology dari tenaga-tenaga kerja asing kepada tenaga kerja dalam negeri, untuk nantinya diharapkan bisa segera mandiri mengoperasikan teknologi tersebut dan membuat industri RI lebih maju.Â
Sekilas, semua terasa mudah dan sat-sat-sat-set jika dibayangkan. Kenyataan yang ada di lapangan, banyak batu ganjalan yang tak terlihat, dan bisa membuat khayalan dan impian tentang percepatan perekonomian Indonesia menjadi buyar. Saya kembali mendapat spill dari rekan-rekan bisnis, baik itu di sektor industri dan pertambangan, bahwa dunia persilatan investasi di sektor tambang sedang tidak baik-baik saja. Mengapa begitu?
Rekan-rekan saya banyak yang berkeluh kesah akan carut-marut aturan, izin dan hukum yang ada di sektor pertambangan sebagai sektor hulu industri. Banyak sekali masalah-masalah yang mereka hadapi; dari mulai pencabutan IUP secara tiba-tiba tanpa peringatan, tumpang tindih lahan, tambang ilegal yang masih marak, serta perizinan yang kerap dipersulit.Â
Bayangkan, ketika perusahaanmu sedang fokus mengembangkan sektor pertambangan RI dengan mengerahkan teknologi modern, tenaga kerja kompeten, implementasi kegiatan operasional yang baik, berkelanjutan dan ramah lingkungan, lalu tiba-tiba dihentikan begitu saja! Padahal selama ini kamu sudah memberikan kontribusi yang optimal kepada negara baik itu lewat nilai ekspor hingga setoran-setoran pajak dan royalti dengan rajin.
Walaupun hanya lewat cerita, saya sudah terbayang betapa pusing rekan-rekan, tak hanya pengusaha tambang namun juga investor, yang sedang memperjuangkan agar komoditas di dalam negeri ini bisa mempunyai nilai tambah fantastis dan laku keras di pasar global. Saya berandai-andai, sekelas Tony Stark pun akan kesulitan mengembangkan Stark Industries-nya jika dihadapkan dengan kondisi yang sama dengan rekan-rekan saya.
Selain itu, para pengusaha tambang bersama investor juga merasa dianaktirikan. FYI, hingga kini terdapat 2.700 tambang ilegal yang masih eksis di Indonesia. Begitupun dengan kasus tumpang tindih lahan yang bermasalah. Berdasarkan data Kemenko Bidang Perekonomian RI ada 4,7 juta Ha lahan tambang yang bermasalah.
Namun, ketimbang mengurusi hal-hal krusial seperti itu, pemerintah seolah-olah menutup mata dan lebih mementingkan urusan pencabutan 2.056 IUP perusahaan tambang, yang bahkan tidak semua dari perusahaan tersebut terbukti melakukan penyelewengan. Buktinya, Menteri Bahlil menjanjikan akan memulihkan beberapa IUPÂ diantaranya. Lah, gimana, sih?Â