Mohon tunggu...
wawan kandatjong
wawan kandatjong Mohon Tunggu... -

Senang jalan, membaca, dan bersepeda. Andai: pelisiran bisa gratis, maka saya akan senang pelisiran dengan bersepeda, bermodalkan pengetahuan dari bacaan. Salam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sale Barru: Saya Mau Menjual Barru

8 Mei 2010   13:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:19 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-format:other; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:Arial; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:Arial; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;}

Barru, adalah kotaku. “I love my city, Barru”. Begitu saya tempel pada kaca ruang kerja saya. Tapi begitu ditanya oleh teman atau keluarga dekat ada apa di Barru, jadi bingung sendiri, dari mana saya memulai (menjual) cerita tentang Barru.

Pernah suatu waktu ada pameran di Makassar, masing-masing daerah kota-kabupaten ada stan-nya. Di stan Kabupaten Barru, dipajang kerajinan marmer. Dari sana saya baru tahu, bila di Barru ada kerajinan marmer. Pertanyaan yang mengikuti keheranan saya ini, bukan karena saya kuper, tapi saya jadi bertanya-tanya, kalau memang (kerajinan marmer) ini bisa dijual ke masyarakat luas, bahwa di Barru ada kerajinan marmer, kenapa di Barru sendiri tidak ada slogan atau sesuatu yang memberitahu ke masyarakat warganya sendiri tentang hal itu, bahwa di Barru ada kerajinan marmer.

Coba saja lihat, umumnya masyarakat yang sering melintas antar Makassar – Parepare, ungkapannya seragam, kalau sudah masuk wilayah Kabupaten Barru, pasti yang teringat hanya ngantuk. Jalannya panjang, dan bosan apa yang mau dilihat.

Suatu hari, saya kedatangan tamu, ponakan saya dari Jepang, sekarang sekolah di Washington, Amerika Serikat. Saat itu bertepatan bulan Ramadhan, ke Barru sekalian menikmati Bulan Ramadhan. Sorenya, menjelang buka puasa, jalan-jalan ke perbatasan Kabupaten Soppeng, singgah di suatu rumah makan di atas kolam. Harapannya, hari itu kami buka puasa makan ikan tawar, minimal ikan gurame atau ikan mas. Pasti nikmat. Apa lacur, yang dijual hanya ikan bandeng. Ikan bakarnya tetap nikmat memang, hanya yang bikin kecewa, kalau memang untuk makan ikan bandeng, kenapa tidak dari tadi saja di Tanjung Butung atau di daerah pesisir pantai tadi sebelumnya. Ini sudah di daerah dataran tinggi, dapatnya ikan bandeng lagi. Kata ponakan saya itu, kalau cuma makan ikan bandeng endak usah kemari, Bulu Dua ini.

Satu lagi yang bisa saya jual cerita tentang Barru. Cerita tentang mie kering di samping rumah. Pernah, (saya pakai kata “pernah” karenamemang sekarang sudah tidak ada lagi), ada warung makan di sebelah rumah, menjual mie kering dan nasi goreng. Pada awalnya tamunya membludak. Dari siang hingga malam, tamunya tetap ramai. Untuk bisa memberi gambaran bagaimana ramainya tamunya, got di belakang rumah sampai meluap lantaran banyaknya ampas tulang ayam di sana, sampah air cuci piring warung. Bau busuknya got itu menyebar ke mana-mana.

Jujur, sebenarnya sih, saya juga sangat terbantu dengan adanya warung itu di sebelah rumah. Di mata teman dan keluarga yang biasa singgah di Barru, rumah saya, warung itu menjadi madu mereka untuk singgah di rumah. Karena seringnya, bila saatnya ada keluarga singgah, dan di rumah tidak ada persiapan makanan lebih, tinggal ambil daftar menunya warung sebelah rumah. Alhamdulillah, saya jadi percaya diri menjamu keluarga.

Faktanya, dua atau tiga kali terjadi, sementara saya berada di Makassar, adik saya lewat di Barru hendak ke Palopo. Cuma bilang lewat hape saja, memberitahu kalau dia memesan makanan sebelah rumah. Sekedar memberitahu sebenarnya sih, kalau ia, adik saya itu, membuat hutang di warung sebelah rumah itu untuk saya.

Namun sekarang, hanya ada kata “pernah” itu, karena sekarang warung itu sudah berhenti. Dan sekarang warung mie kering dan nasi goreng itu tidak bisa lagi saya “jual”, minimal di mata teman dan keluarga dekat saya. Alasan warung itu berhenti saya sendiri belum tahu, serta merta berhenti begitu saja. Padahal seingat saya, saya belum juga menagih ongkos membangun pipa got yang tersumbat dan membuat bau busuk tadi.

Sebelah rumah sekarang memang tetap menjadi rumah makan, tapi pengelola dan jualannya bukan lagi mie kering dan nasi goreng.

Cerita lain, industri rumah abon ikan tuna di Bojo. Suatu hari ada keluarga saya hendak berangkat haji, setelah berpikir masak-masak hendak memberi sangu apa sebagai bekal dalam perjalanan hajinya, pilihan saya jatuh untuk memberinya abon ikan tuna. Pada saat itu saya berada di Parepare, hendak langsung ke Makassar, menghadiri acara manasik haji keluarga saya itu. Belanja abon ikan tuna itu di suatu toko penganan di Parepare. Dalam perjalanan, saya perhatikan pembungkus abon tersebut, ada tertera nomor hape produsennya, nah setelah memperhatikan lebih jauh, saya jadi tahu kalau produsen abon ikan itu saya kenal orangnya, tinggalnya di Bojo. Pernah saya ke rumahnya. Dalam hati saya bertanya, kenapa bisa ya di Barru tidak sepopuler di Parepare abon ikan tuna ini?

Kembali ke cerita apa yang saya mau jual tentang Barru, jadi bingung, karena saya sendiri warga Barru tidak tahu apa yang hendak saya jual (baca= pamer) di hadapan teman atau keluarga dekat saya.

Kalaupun ada yang bisa saya banggakan, ponakan saya itu. Meskipun sudah jauh di benua Amerika sana, dalam emailnya kepada saya, selalu menagih, kapan-kapan mau singgah lagi makan jagung rebus di Laju. Lengkap menyebut nomor warungnya. Katanya, “Om Wawan, ingat yah salam untuk ibu warung ‘Seventeen’”, selalu bilang begitu di akhir emailnya.

Barru, 09 Desember 2009.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun