[caption id="attachment_57786" align="alignleft" width="300" caption="Karebosi/Admin (Facebook.com/Karebosi-Link)"][/caption]
Tadi pagi, saya antar 3mir, anakku imunisasi di RS. St Khadijah di Jalan Kartini. Jenuh menunggu isteri dan anak, saya ambil kursi dan duduk di bawah pohon rindang di sisi luar pagar Karebosi. Senang menikmati suasana rindang begitu.Tertarik, mengambil kamera. Ambil foto arus kendaraan dari arah kiriku, arah dari jalan Bawakaraeng. Sebentar kendaraan rapat berjubel, sebentar lagi lengang, karena arah kendaraan datang memang dari satu arah, seirama dengan jedah merah hijau traffic light.
Bosan dengan suasana itu, saya memandang ke belakang, dari balik pagar saya mengamati pagar, hendak mencari pemandangan yang indah untuk saya ambil gambarnya. Tapi dipaksa-paksa begitu tidak ketemu gambar yang indah. Daun yang bergoyang diterpa angin dilihat dari balik pagar sebenarnya bisa menjadi obyek foto, tapi mungkin suasana hati saya yang gundah saja. Benar, saat itu saya amat terganggu dengan pagar itu. Mau berontak, ini lapangan siapa sih kok pakai pagar seperti milik pribadi saja.
Pikiran saya mundur ke belakang saat saya masih esmpe. Saya di SMP V tamat tahun 1984, pohon beringin yang besar itu tetap masih di sana itu letaknya. Bila pulang sekolah ada waktu luang, atau istirahat sejenak sebelum menuju ke Jalan Buntu Terpedo beli perangko untuk koleksiku, pasti singgah dulu di bawah pohon beringin itu, minum es mambo, atau makan mie goreng rasa bumbu kacang, atau menonton penjual obat, atau menyempatkan diri main bola takraw. Saat itu saya tau, bila mau singgah atau mau pergi ke atau dari Lapangan Karebosi, sebebas saya buang angin saja, tidak ada yang larang dan tidak ada yang saya mintai izin.
Ingat juga saya, bila suatu hari hendak main bola ke Karebosi, dari rumah sambil berlari membawa bola, bola saya hentakkan ke aspal jalan seperti men-dribble bola basket, hingga kemudian sampai di Lapangan Karebosi. Jarak rumah, dari Jalan Tarakan ke karebosi, sekitar 2 atau 3 km saja, tapi saya happy saja berjalan lari seperti itu. Bila ingin ke Lapangan Karebosi, biasanya saya star dari rumah sekitar pukul 14.30. Yang saya mau bilang di sini bahwa saya senang saja berbuat seperti itu. Lari di tengah terik matahari, tapi kalau sudah sampai di Lapangan Karebosi, ah legahnya bukan kepalang.
Pernah suatu waktu, sementara main bola di Lapangan Karebosi, main-main bola saja, dan sandal jepit sebagai penanda gawang, ada angin puting beliung, istilah sekarang. Sementara main bola ada angin kencang dan berputar, bahasa anak-anak saya saat itu disebut “angin laso”. Saking takut kena angin kencang saya lari sekencang-kencangnya setelah melihat seng dari panggung upacara kota beterbangan. Saya lari hingga dapat bersandar di tembok toko di Jalan Kajoalalildo, dari sini kelihatan angin kencang itu berputar seperti putaran tali lasso memang, kencang dan berputar. Bila tadi saya berkeringat karena bermain bola, sekarang berkeringat karena takut. Lima menit berlalu angin kencang itu juga berlalu ke arah lain. Sejenak kemudian teringat bola dan sandal ditinggal di lapangan. Sampai di lapangan kemudian satu sisi sandal saya temukan sudah terbelah menjadi dua, kena terpotong oleh seng yang berterbangan tadi.
Lapangan Karebosi dan Lapangan Gasibu Pernah saya ke Lapangan Gasibu di Bandung, dari tahun 1992 hingga akhir tahun 1998 saya tinggal di Bandung. Saat saya tinggal di Jalan Titiran Bandung, bila sore hari dan ada waktu longgar saya ke Lapangan Karebosi. Lapangan Gasibu kebanggaan masyarakat Bandung. Bila dibanding dengan luasnya Lapangan Karebosi, Lapangan Gasibu tidak ada apa-apanya. Di Gasibu cuma ada satu pasang gawang standar, sedang di Karebosi, pernah saya perhatikan hingga ada 4 pasang gawang standar. Hingga di antara teman, bila saling mengukur ketahanan stamina lari, berlari keliling Lapangan Karebosi adalah suatu ukuran kekuatan. Di Lapangan Gasibu, setiap saat saya bisa dan berhasil berlari ke sekeliling lapangan, setiap saat karena tidak perlu mengeluarkan stamina kuat.
Yang hendak saya sampaikan di sini, bahwa saya takjub dengan Lapangan Gasibu di kemudian hari setelah saya dapat informasi, bahwa sebenarnya di bawah lapangan itu sebenarnya adalah kolam. Kolam pertemuan beberapa aliran selokan besar. Dan di pagi hari pada Sabtu dan Minggu, jangan pernah berharap, bisa berolah raga di lapangan, karena di semua sisi lapangan sedang ada gawe, pasar jongkok. Jualannya banyak dari rambut palsu hingga uang palsu, dari Levis asli hingga Levis bekas, dan yang menjual dari modal di dengkul hingga modal mobil sedan. Semuanya dijual dan semua hendak menjual bahwa inilah lapangan milik warga Bandung, mlik masyarakat banyak. Karebosi sekarang, ah Karebosi milikku yang dulu. Kau milik siapa kini?
Karebosi dan Karebosi Link Karebosi Link, bahasa apa sih ini? Link yang saya tahu, link adalah bila ia kata benda, yang artinya mata rantai, bisa juga berarti hubungan, bisa juga sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu, atau sendi. Sekarang ada istilah “Karebosi Link”, bila dilihat faktanya, sekarang Karebosi berhubungan dangan Mal MTC di seberang jalan, dan memang pengelolanya sama. Jadi “link”-nya disini, bahwa Karebosi berhubungan dengan Mal MTC, artinya, terowongan di bawah jalan Ahmad Yani milik pengelola yang sama. Karebosi, kamu milik siapa sih? Sekarang saya atau anak-anakku, atau anak tetangga ku, atau warga masyarakat umum, tidak bebas lagi bermain bola atau menonton penjual obat. Kenangan memang selalu indah, dan selalu kenangan indah itu mempunyai kesimpulan bahwa kenyataan sekarang menyakitkan. Karebosi sekarang juga begitu, mau masuk lewat mana, semua pakai pagar, kalaupun ada pintu masuk lewat tempat parkir kendaraan. Artinya kalau mau masuk harus punya kendaraan yang diparkir, dan kalau parkir harus membayar, membayar parkir diperhitungkan lamanya. Di mana sekarang pengertian bahwa umum itu adalah milik publik? Makassar, 15 Januari 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H