Mohon tunggu...
wawan kandatjong
wawan kandatjong Mohon Tunggu... -

Senang jalan, membaca, dan bersepeda. Andai: pelisiran bisa gratis, maka saya akan senang pelisiran dengan bersepeda, bermodalkan pengetahuan dari bacaan. Salam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manado, Masihkah sebagai Kota Nyiur Melambai?

29 Januari 2010   14:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:11 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya lahir hingga selesai program Strata Satu, hidup dan tinggal di lingkungan yang dikenal sebagai Kapal Sandar. Daerah ini disebut demikian karena konon dulunya kapal-kapal perang sandarnya di sini, dan yang pasti saya ingat zaman AMD (ABRI Masuk Desa) atau apalah namanya sering ada Kapal Perang sandar di sana.
Di sana, di lingkungan itu suasananya sangat beragam, untuk tidak bilang sangat romantis. Ada penduduk yang bisa dikatakan penduduk asli, karena sudah tiga generasi hidup dan tinggal di sana, depe papa en depe tete lahir en idup di sana. Yang mencari di laut lebih banyak, yang mencari usaha deng pasir juga nyanda sendikit. Itu romatisme saya.
Suatu sore saya pergi memancing, sebegitu pancing saya turun kena air laut, sebegitu saya tarik, ada lima belas ikan ekor kuning saya dapat. Setengah jam kemudian, di perahu itu sudah penuh dengan ikan.
Juga sering pada sore hari, di pantai sana seperti diserang dengan seribu pasukan (bukan sepasukan) ikan nike. Saking banyaknya ikan yang menyerang pantai, tanpa teknik apapun sebegitu ember masuk ke permukaan laut sebegitu pula ikan nike memadatinya. Benar memadati, karena ikan itu dengan suka rela masuk ke ember. Tidak sampai sepuluh menit, perahu sudah hamper tidak punya bibir, alis so mo tanggalang. Sekali lagi ini romantisme saya.
Dan apa yang ingin saya sampaikan di tulisan ini ialah, bahwa itu memang tinggal romantisme masa lalu.
Sekarang setelah 15 (lima belas) tahun kembali lagi ke Manado, rasanya saya kehilangan jati diri. Datang berkunjung ke Kapal Sandar, seperti berjalan di tengah hutan bisu kesedihan. Identitas sebagai masyarakat pantai yang selalu semarak kini sudah hilang.
Seperti lagu-lagu PanBers, saya memang romantis dengan masa lalu. Saya sapa “mantan” tetangga, mo kamana Oom?, atau “Kong si Anu skarang mancari di mana?”. De pe jawaban betul-betul menyayat hati keromantisanku. Apa dorang bilang: “Mo ka mana lay, so nyanda ada perahu, so nyanda ada pantai mo tangkap apa lay.”
To rang so nyanda makan ikan kwak, ada mo makan itu ayam goreng bumbu tepung (dia ada sebut mereknya ”XYZ”). Ada satay house, ada hotel berbintang. Maar, nyanda mo sadap di gargantang. Torang orang pantai kwak, yang sadap di puru cuma deng ikan.
Sekarang Manado so berbenah, membangun dan menjadi kota pariwisata, kawasan Manado Pantai berubah menjadi Manado Kota Baru dengan seribu ruko dan banyak benteng mal.
Sekitar tujuh belas tahun lalu, pantai ini punya jalan boulevard, sebagai barang baru jalan ini menjadi kebanggaan warga pantai, bahwa akhirnya kota Manada adalah kota pesisir yang punya jalan yang panjang dan lurus juga. Hilir mudik kendaraan dari Bahu ke Stasion atau dari stasion ke Bahu torang bisa jalan sambil diterpa angin pantai.
Pernah di awal penggunaan jalan boulevard ini diadakan “Lomba Melukis Terpanjang”, melukis di atas kain dengan tidak terputus dari ujung Patung Monginsidi hingga hampir di belakang Jumbo anak-anak ramai melukis, dan pada waktu bersamaan ada lomba perahu layar internasional yang star mulai dari Darwin Australia dan finish di pantai Manado. Dan di langit ada atraksi pesawat terbang dari aeromodeling.
Bisa dibayangkan betapa indah kota Manado saat itu, yang di darat sibuk melukis dengan kain terpanjang, yang di laut banyak orang asing memanfaatkan hembusan angin untuk merapat ke pantai. Dan di langit membuat suasana lebih semarak.
Sekarang saya tidak mau bilang mau bikin lomba lukis seperti itu lagi, karena sudah pasti membuat macet kota ini. Tapi yang ingin saya gambarkan bahwa membuat kesemarakan seperti itu lagi, menikmati semarak di pantai bersamaan dengan semarak di laut juga tontonan atraksi di langit biru kota Manado ini sangat sukar terjadi karena pantai itu sekarang adalah milik mal-mal besar itu, milik ruko-ruko itu.
Warga kota sudah tidak bisa melihat pantai dengan bebas, karena yang punya pantai mal dan ruko, mo lihat pantai harus bayar.
Kotaku kota Manado, memang harus membangun untuk tidak dikatakan tertinggal dengan kota-kota di lain di nusantara ini. Tapi jangan bikin romantisme dengan lagu sedih.
Di Kapal Sandar, lagu sedih itu mengalun lebih panjang lagi, perahu menjadi gerobak warung, hukum tua so jadi sekuriti mal, depe ibu-ibu rajin ba pasiar ke mal biar nyanda belanja yang penting pasiar, cuma deng jalan kaki.
Lagu sedihku ini bertambah sedih lagi, karena kawasan badan jalan di sebelah darat yang dulunya pantai harus mundur lagi, katanya 15 meter lagi dari yang ada sekarang. Ini sangat mengusik rasa keadilan banyak orang.
Sungguh sangat terang di ingatan saya, sewaktu hendak dibangun itu jalan aparat selalu melakukan pendekatan, katanya wilayah pantai ini akan punya jalan, jalan boulevard itu. Dan sosialisasi yang dijalankan selalu disampaikan bahwa masyarakat harus rela agar Manado punya jalan, dan dengan tidak pernah menyampaikan ke masyarakat pada waktu itu bahwa nanti di sebelah sana (bagian pantai itu) akan dibangun ruko dan mal-mal.
Singkatnya, saya mo bilang, masyarakat pantai harus merelakan pantainya, untuk dibangun mal dan ruko. Dengan begitu, masyarakat pantai adalah pemilik pantai, sedang ruko dan mal itu hanya penumpang gelap, yang menumpang kemudian.
Sekarang ceritaku makin sedih masyarakat pantai harus merelakan tanahnya lagi 15 meter untuk penghijauan. Harus mundur lagi, artinya harus digusur lagi. Padahal merekalah itu pemilik pantai itu.
Sangat ironis pada hal penumpang gelap dalam masyarakat pantai ini adalah ruko dan mal itu. Yang mengusik rasa keadilan saya, kenapa bukan ruko dan mal itu membayar keberadaannya dengan menghijaukan lahannya, jangankan lima belas meter seratus meter pun mereka bisa karena tidak ada manusia yang tergusur. Dan bila demikian nyiur itu melambai bukan di tengah jalan tapi di bibir pantai, dan Manado tetap dikenal sebagai “Kota Nyiur Melambai”.
Dan semoga ini bisa terjadi agar lagu romantis yang sedih itu tidak mengalun lebih sedih lagi.

Manado 27 Oktober 2006
Wawan Kandacong

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun