Terlambat adalah ketidaksetiaan pada waktu. Atau mungkin ditandai dengan sebuah senyuman atau tawa kecil saat datang. Ketika seseorang atau sekelompok orang sengaja atau tak sengaja datang terlambat, mereka tertawa kecil. Ada banyak orang di sekitar kita yang saat datang terlambat di kelas, pertemuan, atau sebuah kegiatan, melakukan hal yang sama. Mereka dengan mudah tersenyum dan terkadang lupa meminta maaf. Mereka senang membuat orang yang menunggunya harus kehilangan waktu.
Seandainya saja kita bisa dengan mudah memahami orang lain, tentu akan ada cerita yang berbeda. Barangkali, kita mesti percaya dengan sungguh-sungguh bahwa setiap waktu adalah hadiah. Dan seperti kata pepatah, "Suatu waktu bisa mengubah hari, satu hari dapat mengubah hidup, satu kehidupan dapat mengubah dunia.” Semoga saja mengabaikan waktu tak mengubah kehidupan kita menjadi lebih buruk.
Peristiwa itu memang tak sepenuhnya buruk. Hal yang bisa kita pelajari adalah, seusai berbuat salah, mereka tidak tenggelam dalam kesedihan. Di Indonesia, sebagian besar orang yang terlambat mampu tertawa, menertawakan diri sendiri. Keahlian itu bukanlah hal yang mudah. Bagi orang yang senang menghujat orang lain, ada baiknya kita belajar dari peristiwa sederhana tersebut. Setiap hal dari diri kita dipenuhi dengan sesuatu yang dapat kita tertawakan.
Tapi, sekali lagi, patut dipahami bahwa menertawakan diri sendiri tak begitu mudah untuk diaplikasikan. Lebih mudah menjadi kritikus di bangsa ini daripada belajar menertawakan diri sepenuhnya. Semua orang mudah bersuara meski tak punya cukup pengetahuan di kepalanya. Ada banyak penilaian yang tergesa-gesa dan jika semua itu terus berlanjut tentu akan ada masalah baru. Tanpa menemukan pembanding atau informasi lain yang membantu dalam penarikan kesimpulan.
Kita akan selalu keliru dalam menjalani serangkaian cerita yang terjadi. Percayalah bahwa menegur diri sendiri akan jauh lebih baik daripada menegur orang lain. Dan Millman, yang merupakan mantan atlet juara dunia, pelatih, instruktur seni bela diri, dan dosen, pernah membuat tiga aturan hidup. Aturan tersebut dijelaskan secara rinci dalam bukunya yang berjudul, Way of the Peaceful Warrior: A Book That Changes Lives.
Aturan pertama adalah memahami paradoks. Bahwa hidup dipenuhi dengan misteri, dan kita sebaiknya tak perlu membuang waktu untuk memahami seluruhnya. Aturan kedua, humor. Tentang anjuran untuk menertawakan diri sendiri. Sebab, itu adalah kekuatan yang besar untuk mengembangkan potensi kita. Aturan ketiga, change. Patut untuk kita pahami bahwa semua tidak akan pernah sama, selalu ada yang berubah.
Sayangnya, kita sering kali menikmati kekeliruan yang ada. Sedikit saja informasi yang kita dapatkan, lahirlah kesimpulan. Jika saja kita belajar pada pendapat Hegel, salah seorang pemikir spekulatif paling hebat. Das Wahre ist das Ganze, kata Hegel. Kebenaran harus disamakan dengan keseluruhan, kebenaran mencakup segala sesuatu yang ada.
Pemikiran Hegel tentunya dapat menjadi landasan untuk tidak mudah menertawakan kesalahan orang lain, melainkan menjadi bahan untuk menertawakan diri sendiri. Kita sering mengira orang lain adalah lelucon, padahal diri kita sendiri adalah badut yang bodoh dan lebih pantas ditertawakan. Kita mungkin patut belajar dari orang yang terlambat, seperti penjelasan sebelumnya. Saat mereka datang dengan mengabaikan waktu yang telah dijanjikan, sangat mudah bagi mereka untuk tertawa. Mereka tertawa dan terbiasa melihat peristiwa yang sama, lalu melakukan semua itu secara berulang.
Padahal, di beberapa tempat di belahan dunia ini, terlambat adalah hal yang memalukan. Bukti bahwa kita begitu pandai menyia-nyiakan waktu adalah satu hal yang patut kita tertawakan. Dan semoga saja tawa yang kita lahirkan tak membuat kita lupa untuk berbenah. Namun, benarkah kita pandai menertawakan diri sendiri atau hanya menertawakan nasib kita yang keliru?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H