“How are you going to find out about things if you don't ask questions?”
― L.M. Montgomery, Anne of Green Gables
Budaya bertanya di Indonesia cukup mencemaskan. Sebagian dari kita percaya bahwa budaya bertanya kadang dilarang dan tidak dibiarkan berkembang. Mudah kita temukan jika di dalam kelas, entah sekolah atau kampus, seorang pengajar bertanya dan suasana otomatis menjadi hening. Tidak ada pertanyaan, materi selesai dan terus berulang dari waktu ke waktu. Pola pendidikan seperti itu, tentu dapat mengajak kita untuk ikut bertanya bahwa, “mengapa kita sulit atau enggan untuk bertanya?”
Kelirunya, di sekolah mungkin ada anak yang mencoba rajin untuk bertanya namun pada akhirnya dilabel sebagai orang bodoh. Dikutuk sebagai anak yang tak menyimak dengan baik, pemalas dan tidak memperhatikan materi dengan baik. Juga, ada guru serta dosen yang merasa terancam dengan pertanyaan hingga melarang dan membunuh lahirnya banyak pertanyaan. Kasus lainnya, jika di kelas seorang bertanya dan dosen atau guru melanjutkan pembahasan, siswa atau mahasiswa lain kadang jengkel pada si penanya.
Juga pemerintah yang kadang tak senang diserang pertanyaan dari rakyat. Pejabat yang menghiraukan pertanyaan dan acuh pada segala hal yang mestinya diperjuangkan. Semua itu memang penyakit mental dan dipenuhi dengan kekeliruaan. Di Indonesia, memang ada banyak hal yang keliru. Sebab itu pula, lahir istilah Kelirumologi, yang pertama kali dicetuskan oleh Jaya Suprana. Seorang yang identik dengan kepala plontos yang juga menjadi pendiri Museum Rekor Indonesia (MURI). Jaya Suprana memulai semua itu dengan beragam pertanyaan.
Padahal, bertanya adalah sebuah ruang untuk kita menemukan hal baru. Berbagai penemuan ditemukan dari sejumlah pertanyaan yang tak henti dikeluarkan. Hanya saja, kita mungkin akan bertanya, mana yang lebih banyak, “orang yang membenci pertanyaan atau orang yang senang bertanya?” Sejatinya, kebiasaan bertanya menjadi kunci keberhasilan bagi siapa saja. Maka tak heran jika di Indonesia, kita lebih senang menggunakan dibandingkan menciptakan hal - hal baru seperti yang dilakukan sejumlah Negara maju. Negara - Negara yang menjadikan pertanyaan sebagai kebiasaan yang begitu dihargai.
Para filsuf menghabiskan waktu mereka dengan terus memikirkan pertanyaan mendalam akan berbagai hal. Mereka tetap dewasa tanpa lupa jika ia pernah menjadi anak kecil yang tak henti bertanya. Tentu saja anak kecil belajar dengan bertanya, mereka bertanya kepada orang tua, siapa saja. Akan tetapi, setelah beranjak dewasa, kemampuan itu pudar dan hilang sedikit demi sedikit. Rasanya, kita patut untuk belajar dari seorang Eric Schmidt, CEO dari Google. Eric mengatakan bahwa "We run the company by questions, not by answers." Eric berhasil menghidupkan pertanyaan dan menemukan banyak hal dari semua itu. Lihat saja bagaimana Isaac Newton bertanya, “Mengapa sebuah apel jatuh dari pohon?” dan juga “Mengapa bulan tidak jatuh ke Bumi?” Semua pertanyaan itu kemudian menjadi awal mula ditemukannya penemuan besar dari karya yang ia hasilkan.
Sebagian besar orang malu jika bertanya, karena mengira dirinya akan dianggap bodoh dan lemah. Padahal, pertanyaan adalah langkah awal untuk menemukan dan mengumpulkan berbagai informasi penting yang kita selalu butuhkan. Sebagian lagi merasa dirinya pandai dan tak perlu bertanya kepada siapa pun dan kepada apa pun. Namun orang seperti itu, akan membuktikan pepatah “the way of a fool is right in his own eyes” Orang bodoh selalu pandai di matanya sendiri, ia tak perlu perbandingan orang lain. Orang seperti itu selalu pintar menyombongkan kebodohannya.
Selain dari semua peristiwa itu, hari ini mungkin kita pernah mendengarkan istilah “Kepo.” Anak muda masa kini, senang sekali menggunakan kata “Kepo” saat seorang teman bertanya tentang sesuatu. Sekadar bercanda atau bermain - main, namun sebenarnya mereka semakin membunuh budaya dan kebiasaan bertanya di sekitar kita. Kepo merupakan singkatan dari “Knowing Every Particular Object" menjadi kesempatan baru untuk membunuh pertanyaan. Membunuh pertanyaan sama saja menghilangkan penemuan, menggagalkan karya serta memadamkan nyala ilmu pengetahuan yang mestinya dikembangkan. Jika cara terbaik untuk menemukan ilmu, lalu mengapa kita enggan untuk bertanya “Mengapa kita begitu malas bertanya?”