Peribahasa Amerika mengatakan “Walk a mile in another man’s moccasins before you criticize him”. Sebaiknya kita belajar memahami perasaan orang lain. Mungkin saja, kelak akan ada masa kita saling mengabaikan. Kata “peduli” tak akan lagi terdengar menyenangkan. Makna semua itu akan terasa sangat asing. Hari ini, ada banyak orang yang mudah mengabaikan. Hal terbaik hanyalah urusan pribadi. Tanpa sadar bahwa di luar dari kehidupan kita, ada banyak yang membutuhkan. Sebelum tiba pada masa seperti itu, kita dapat belajar dari Psikolog Edward Titchener (1867-1927). Edward memperkenalkan "empati" pada 1909 ke dalam bahasa Inggris sebagai terjemahan dari istilah Jerman "Einfühlung" (atau "perasaan menjadi"), sebuah istilah yang pada akhir abad ke-19 menjadi sangat penting dalam estetika filosofis di Jerman.
Empati bukanlah hal yang bersifat bawaan, melainkan sebuah keterampilan yang dapat diasah atau dikembangkan. Pada mulanya, kata empati sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu, εμπάθεια (empatheia) yang berarti "emosi kuat atau gairah". Secara mendasar empati dimaknai dalam kemampuan untuk memahami kondisi emosional orang lain, merasa simpatik dan berusaha menyelesaikan permasalahan, dan menggunakan perspektif orang lain. Empati kemudian menjadi kajian bidang ilmu psikologi. Sehingga, untuk dapat memahami konsep empati lebih jelas, kita dapat mempelajarinya berdasarkan hasil yang telah diperoleh pada sejumlah penelitian tentang empati.
Seperti penelitian yang dilakukan Decety, J dan Jackson, P.L pada tahun 2004. Mereka menulis sebuah artikel yang berjudul The Functional Architecture of Human Empathy. Artikel tersebut dituliskan setelah melakukan survey dan mengumpulkan berbagai definisi serta konsep tentang empati. Bahan dari tulisan tersebut diperoleh dari berbagai literatur akademik. Hingga akhirnya, terdapat tiga hal penting yang menjadi kesimpulan untuk menjelaskan tentang empati. Pertama, merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Kedua, memahami kondisi orang lain. Dan ketiga, memiliki respon perhatian untuk peduli akan masalah yang dihadapi orang lain.
Di luar dari teori tersebut, ada cara lain untuk belajar tentang empati. Seperti halnya yang dilakukan oleh George Orwell. Setelah beberapa tahun sebagai seorang polisi kolonial di British Burma pada tahun 1920, Orwell kembali ke Inggris dan bertekad untuk menemukan kondisi hidup di kalangan rakyat yang menderita, rakyat yang terpinggirkan. Orwell berpakaian seperti gelandangan dengan sepatu lusuh dan mantel, lalu hidup di jalanan dengan pengemis dan gelandangan. Pengalamannya itu kemudian menjadi inspirasi dalam bukunya yang berjudul “Down and Out in Paris and London”.
Selain Orwell, ada juga presiden sekaligus pemimpin Partai Komunis, China Xi Jinping, menyamar menjadi rakyat biasa dan bepergian menggunakan taksi. Selama beberapa menit, Xi yang menyamar mendengarkan keluhan supir taksi bernama Lixin, 46, tentang kabut polusi Beijing yang semakin parah. Upaya tersebut adalah langkah nyata untuk merasakan perspektif rakyat secara langsung. Di dalam agama Islam, juga terdapat banyak sosok yang mencoba untuk turun langsung ke rakyat. Umar Bin Khattab, sering menyamar dan berkeliling, berpatroli ke pelosok-pelosok daerah untuk memeriksa keadaan rakyatnya pada tengah malam.
Salah satu cara untuk mendapatkan empati adalah belajar berada dalam peran orang lain, mendapatkan pengalaman langsung dari kehidupan orang lain. Sekiranya, ada banyak pemimpin yang pandai untuk berempati. Tentu, Indonesia tidak akan seburuk ini. Seperti halnya di Makassar, ketika keamanan kota sedang dipertanyakan. Ketika sejumlah kelompok berbuat onar dan tak peduli dengan orang lain. Ketika masyarakat mulai cemas sampai harus membuat tagar #MakassarHarusAman. Pak Walikota dan Pak Gubernur sudah sepatutnya ikut merasakan keresahan itu dengan pergi dan merasakan suasana Makassar pada malam hari. Tanpa perlu didampingi sejumlah ajudan atau polisi. Mereka patut merasakan kondisi yang sebenarnya. Sebelum berkesimpulan jika semua baik-baik saja.
Pemimpin seharusnya lebih menderita, lebih resah dari apa yang dia pimpin. Jika tidak, sebaiknya dia mulai malu pada jabatan dan dirinya sendiri. Sebab empati yang dia miliki telah mati.
*Tulisan ini dimuat di kolom Literasi Tempo Makassar, 13 Maret 2015
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI