Pada mulanya, semua ini diawali dari niat saya bersama lima orang teman untuk dapat berinteraksi langsung dengan anak-anak. Kami adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, yang beranggapan bahwa belajar psikologi adalah tentang mengenal dan memahami bagaimana manusia bertindak. Saya sendiri memiliki kepercayaan jikalau jiwa anak-anak adalah ruang belajar yang begitu dalam dan luas. Di daerah asal saya, di Kabupaten Soppeng, Kelurahan Labessi (kurang lebih empat jam perjalanan dari kota Makassar via mobil) anak – anak memiliki kebutuhan yang terabaikan. Kebutuhan yang saya maksud adalah “membaca buku.” Barangkali bukan hanya di daerah saya, tapi hampir di setiap daerah di Indonesia, kesempatan untuk membaca buku adalah sesuatu yang kurang dianggap penting. Sehingga, saya merasa penting untuk menciptakan ruang baca, apa pun namanya, harus ada tempat bagi anak-anak untuk menemukan bacaan yang ia sukai.
Di bulan Juni 2014, saya mengajak kelima orang teman untuk membantu mengumpulkan buku bacaan. Seringkali saya menerima pertanyaan, bagaimana mendapatkan buku-buku untuk ruang baca yang kau dirikan? Kami memulai mengumpulkan buku-buku itu dengan mendonasikan buku pribadi kami, tak peduli berapa banyak buku yang kami punya. Setiap dari kami mendonasikan buku yang masih layak baca. Setelah itu, kami mengajak orang terdekat kami. Seperti teman kelas di kampus, kakak alumni, dan beberapa orang yang mendapatkan informasi dari pamphlet yang kami sebar di kampus dan sosial media. Ada yang donasi satu buku hingga satu kardus buku.
Tempat ruang baca itu kami namakan Rumah Literasi. Tempat ruang baca kami ada di bawah rumah panggung yang sudah kami atur, lantainya sudah dipasangkan ubin dan beberapa rak buku telah kami sediakan. Dua buah meja kecil dan dinding sementara yang berasal dari seng bekas. Saya percaya, ruang yang masih sederhana itu akan berguna dan menjadi tempat bermain bagi anak-anak. Beruntungnya, saya punya dua orang adik laki-laki yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Merekalah yang membantu kami untuk mengumpulkan anak-anak untuk datang berkunjung dan membaca. Selain membaca, ruang itu menjadi tempat untuk anak-anak yang ingin mengerjakan PR bersama atau tugas kelompok.
Setahun setelah Rumah Literasi berdiri, saya berpikir untuk mengadakan kegiatan tahunan. Anak-anak di daerah saya untuk menjadi anak-anak yang gila baca mesti melewati tantangan lingkungan. Tantangan seperti tidak adanya dukungan orang tua, perpustakaan sekolah yang lebih banyak tertutup disbanding terbuka, pun perpustakaan terbuka tidak ada buku yang cukup menarik untuk dibaca, rak buku hanya di isi buku-buku lama. Mereka juga harus menghadapi tantangan tidak adanya role model di sekitar mereka, membaca bukan sesuatu yang dianggap penting dan keren. Diperparah lagi dengan hadirnya televisi bersama siaran-siarannya yang kadang tidak mendidik, membuat anak-anak semakin jauh dengan aktivitas baca buku.
Saya rasa hal yang paling menyakitkan dalam hidup adalah ingin mengubah sesuatu yang telah terjadi. Namun disaat yang bersamaan kita merasa bahwa apa yang kita miliki tidaklah cukup untuk mewujudkannya. Namun, saya merasa perlu belajar dari novel Iwan Simatupang yang berjudul Koong. Di dalam novel itu, bercerita tentang seorang lelaki tua yang kaya namun hidup sebatang kara setelah ditinggal mati anak dan istrinya. Ia kemudian ditemani seekor burung perkutut yang sama sekali tak mampu memperdengarkan keindahannya seperti perkutut pada umumnya. Dari kehilangan perkutut, Iwan Simatupang berhasil membuat cerita dari novel ini menjadi begitu menarik. Warga desa ikut prihatin dan resah, Pak Sastro tidak ingin mengganti perkututnya, meski telah ditawari perkutut yang lebih baik, hingga pak Lurah pun ikut bersedih.
Hingga pada akhirnya, pak Lurah datang menemui Pak Sastro dan menyarankannya untuk pergi mencarinya, namun saat itu terjadilah kekeliruan. Pak Sastro merasa telah diusir dengan cara yang lebih halus. Pak Sastro meninggalkan desa dengan meninggalkan tanda tanya dan keresahan mendalam bagi pak Lurah dan seluruh warga desa. Harta pak Sastro dititipkan ke Pak Lurah, dan ia memutuskan untuk mencari perkututnya. Pada proses pencarian itulah, Pak Sastro menemukan kesempatan untuk lebih banyak merenung dan berpikir lebih mendalam. Ia berkesimpulan, dapat atau tidak dapat yang penting adalah mencari. (Selain pesan mencari dalam novel itu, masih ada banyak pesan yang dapat kita pelajari. Jika ada waktu luang, saya sarankan anda membacanya) Manusia memiliki kesempatan serta kekuatan untuk senantiasa mencari apa yang membuatnya resah.
Kembali ke ruang baca; untuk memecahkan masalah yang sebelumnya, membuat saya memutuskan melaksanakan kegiatan yang diharap dapat membekas di ingatan anak-anak. Kegiatan itu sederhana dan hanya berlangsung selama sehari, mulai pagi hingga sore. Kegiatan itu kami beri nama, “Perahu Baca.” Saya kembali mengajak teman dari Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar untuk terlibat aktif.
Di pagi hari, kami masuk di beberapa kelas dan mengajak mereka bermain game sambil memberikan materi tentang membaca. Kami melakukan kampanye literasi bagi anak-anak di sekolah. Dan kami memilih peserta terbaik sebanyak dua puluh orang (keterbatasan transportasi menuju lokasi membuat kami harus memilih beberapa orang saja) untuk ikut ke sungai yang berjarak cukup jauh dari Rumah Literasi. Di pinggir sungai, kami telah menyediakan buku-buku yang wajib mereka baca. Mereka didampingi oleh teman-teman relawan yang saya ajak untuk ikut bergabung. Para relawan bertugas untuk menjaga buku dan melihat adik-adik membaca. Setelah membaca, mereka mesti menceritakan apa yang telah didapatkan dari buku. Bagi anak-anak yang telah membaca, kami berikan kesempatan untuk naik di atas perahu dan bercerita, mengungkapkan perasaannya.
Jika percaya dengan pendapat Sigmund Freud, pengalaman anak-anak yang mengikuti perahu baca akan tersimpan dengan begitu kuat selama mereka menikmati dan terkesan dengan kegiatan kami. Beberapa anak yang kami wawancarai mengaku senang dan bahagia. Mereka berbahagia selama sehari itu, mereka membaca, bermain dan bercerita di atas perahu. Saya mungkin sedang berada di posisi Pak Sastro, mencari sesuatu yang hilang. Saya juga tak peduli apakah dapat atau tidak, setidaknya saya mencari dan itu membuat saya bergerak. Pada akhirnya, saya menemukan sesuatu yang begitu menyenangkan, perasaan senang saat mampu membaca dan bermain bersama. Tiga bulan selanjutnya, setelah kami menghadirkan Rumah Literasi, satu diantara lima teman saya yang membantu hadirnya Rumah Literasi mengajak saya untuk kembali menciptakan ruang baca di Kabupaten Gowa.
Setelah menerima donasi buku (dengan cara yang sama seperti sebelumnya) kami memanfaatkan rumah kosong yang siap dijadikan ruang baca, kami beri nama Bola Panrita yang kemudian kami singkat menjadi Bolpart. Setiap akhir pecan kami melaksanakan kelas kreatif dengan berbagai tema di Ruang Baca Bolpart. Nama itu adalah bahasa Bugis, Bola berarti Rumah dan Panrita berarti Cendikia, kami berharap ruang baca itu akan menjadikan anak-anak di sana menjadi orang yang bermanfaat di masa depan.
Saya tak ingin menampilkan data statistik yang menampilkan betapa rendah dan miris sekali kondisi Indonesia dalam hal literasi. Setelah beberapa bulan Perahu Baca 2015 berhasil kami selenggerakan, setiap kali bertemu mereka yang ikut dalam Perahu Baca, mereka akan melontarkan pertanyaan “Kak, kapan perahu baca?” Menjawab pertanyaan itu, kami pun tengah mempersiapkan Perahu Baca 2016 yang akan kami laksanakan di akhir bulan Oktober. Semoga Perahu Baca tahun ini dapat lebih baik dan senantiasa bermanfaat. Terakhir, saya senantiasa berharap akan ada banyak titik di sekitar kita yang menjadi ruang baca. Hadirnya ruang baca secara tidak langsung akan menjadi ruang-ruang berbagi untuk sesama.