Mohon tunggu...
Wawan Kurn
Wawan Kurn Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar Menulis, Senang Membaca, Hobi Memancing. Dapat dikunjungi di www.wawankurn.com

Belajar Menulis, Senang Membaca, Hobi Memancing. Dapat dikunjungi di www.wawankurn.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peduli 3ENDS, Melawan Kekerasan Perempuan dan Anak

6 Januari 2017   21:25 Diperbarui: 6 Januari 2017   22:11 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali mendengar Program Three Ends, saat saya berkesempatan menjadi salah satu peserta TEMU Nasional Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Puspa) 2016 yang digelar di Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni. Temu nasional itu diikuti kurang lebih 379 peserta, wakil dari lembaga masyarakat, organsiasi keagamaan, organisasi profesi, akademisi/lembaga riset, dunia usaha, dan unsur media. Pada saat itu, saya mewakili Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) setelah mengirimkan laporan kegiatan “Positive Youth Project” sebagai salah satu program yang telah dijalankan di tahun 2016. Selama mengikuti program Puspa, saya bertemu dengan beragam peserta yang telah menjalankan sejumlah pengabdian di tempat masing-masing. Di Puspa, yang hampir sebagian besar pesertanya adalah perempuan, saya belajar memahami dan mengenali dunia perempuan dan anak yang selama ini luput dari perhatian. Ketika dipaparkan data-data kekerasan pada perempuan dan anak, saya lebih banyak terdiam sembari merenungkan, betapa acuhnya saya pada hal-hal seperti itu. Berbagai kasus dipaparkan, mulai dari anak hingga perempuan.

Three Ends adalah program andalan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), yakni akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia, dan akhiri ketidakadilan akses ekonomi untuk perempuan. Bukan tanpa alasan Three Ends dipilih menjadi program unggulan, pasalnya data kekerasan kian meningkat. Komisi Nasional Perempuan mendata sebanyak 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2015, berarti sekitar 881 kasus setiap hari dan angka ini meningkat 9% dari tahun sebelumnya. Saya rasa, masih banyak data-data kekerasan yang tidak kita ketahui. Atau barangkali di sekitar, ada banyak kasus kekerasan perempuan atau anak yang tidak kita sadari. Sepulang PUSPA, saya masih tetap terhubung dengan beberapa alumni Puspa dan beberapa kali ikut kegiatan serupa. Terakhir, ketika bulan Desember kemarin, saya kembali mewakili HIMPSI untuk hadir di pelatihan capacity buildingpenggiat Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, di Bogor, Jawa Barat.

Langkah yang ditempuh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk memperjuangkan program Three Ends patut diacungi jempol. Sebisa mungkin, KPPPA tengah mencoba melibatkan banyak unsur serta partisipasi aktif dari masyarakat luas. Pada dasarnya, masalah ini bukanlah masalah di Indonesia saja. Beberapa negara pun mengalami masalah demikian. Seperti halnya pada laporan buletin tahun 2009, Children’s Exposure to Violence: A Comprehensive National Surveyyang diterbitkan Department of Justice, Amerika Serikat, bahwa 60% dari anak-anak Amerika mengalami kekerasan, kejahatan, atau kekerasan di rumah mereka, sekolah, dan masyarakat.

Pertanyaan penting yang sekiranya pecahkan bersama adalah, mengapa kekerasan terhadap perempuan dan anak kian meningkat? Fakta mendasar dari sejumlah kasus kekerasan yang terjadi adalah pelaku kekerasan adalah orang terdekat. Saya tiba-tiba mengingat pesan Bang Napi beberapa tahun silam di salah satu stasiun tv, “Kejahatan tidak terjadi karena ada niat, melainkan karena ada kesempatan.”Nah, siapa yang memiliki banyak kesempatan “lebih” jika bukan orang terdekat. Meskipun tidak menutup kemungkinan, orang luar pun berpotensi jadi pelaku kekerasan. Ada banyak penelitian yang menjelaskan akibat dari kekerasan perempuan dan anak. Misalnya saja, temuan dari penelitian Finkelhor dkk (2009) menjabarkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan memiliki kemungkinan besar untuk penyalahgunaan narkoba dan alkohol; depresi, kecemasan, dan gangguan pasca-trauma; gagal atau mengalami kesulitan di sekolah; dan menjadi nakal dan terlibat dalam perilaku kriminal.

Temuan itu pun benar adanya. Pengalaman saya yang sebelumnya pernah dituliskan dengan judul “Mengapa Kami Menghitung Senyuman?” adalah gambaran anak-anak yang hampir setiap hari mengalami kekerasan verbal serta non-verbal dari lingkungannya. Pada akhirnya, perilaku mereka terlihat berbeda dari anak-anak pada umumnya. Berangkat dari kondisi seperti itu, saya merasa program Three Ends KPPPA wajib untuk dijalankan bersama. Hanya saja, KPPPA pun wajib untuk terus memberi edukasi masyarakat-masyrakat yang jarang diperhatikan. Pendidikan  masih menjadi salah satu hal yang patut untuk ditanamkan dengan matang. Bagaimana orang tua mestinya mendidik anaknya tanpa kekerasan. Bagaimana keluarga bisa menjadi pelindung utama bukan menjadi ancaman. Bagaimana sebaiknya guru menghindari labeling di kelas yang kadang dianggap sepele namun berbahaya secara psikis. Ada banyak hal yang patut untuk diperhatikan demi mengurangi kekerasan di sekitar kita.

“Children See, Children Do” di kelas psikologi sosial, saya mengingat salah satu pesan dari salah satu dosen yang seringkali beliau ulang, “Anak kecil serupa mesin fotocopy, mereka peniru paling ulung” saat ini, beliau juga dikarunia seorang anak perempuan yang semoga saja tumbuh menjadi anak yang berguna bagi orang banyak. Dan semoga beliau berhasil menjadi orang tua yang baik. Dosen saya mengulang pesan itu lantaran melihat banyaknya anak-anak yang kadang terpaparkan hal-hal yang tak semestinya. Coba kita pikirkan, seorang anak melihat ayah dan ibunya bertengkar, seorang anak menyaksikan siaran-siaran tv yang beraroma kekerasan. Berdasarkan penelitian, pengalaman itu akan membentuk sang anak menjadi lebih agresif dan mengulang apa yang mereka lihat.

Maka, ketika kembali pada pertanyaan “mengapa?” saya rasa, menumbuhkan kepedulian melalui pendidikan adalah jalan yang menjanjikan. Masyarakat butuh edukasi untuk melindungi diri mereka, dan siapa saja yang mampu berbagi atau berkontribusi, kiranya dapat bergerak bersama, sembari KPPPA terus menggencarkan gerakan kolaborasi demi Three Ends.

Facebook: Wawan Kurn

Twitter: @wkhatulistiwa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun