Mohon tunggu...
Wawan Kurn
Wawan Kurn Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar Menulis, Senang Membaca, Hobi Memancing. Dapat dikunjungi di www.wawankurn.com

Belajar Menulis, Senang Membaca, Hobi Memancing. Dapat dikunjungi di www.wawankurn.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencari Kebijaksanaan Kita yang Hilang

30 Agustus 2016   21:35 Diperbarui: 30 Agustus 2016   21:57 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mencari kebijaksanaan adalah permainan.” Saya percaya tentang itu sejak dua tahun lalu. Sebelum menyelesaikan studi dan meraih gelar sarjana psikologi, saya menemukan jurnal penelitian tentang “wisdom.” Saya mulai tertarik untuk membaca dan menjadikannya sebagai skripsi. Begitu mudah saya mencap orang itu tidak bijaksana, perbuatan itu tidak bijaksana, keputusan itu tidak bijaksana. Dan perlahan saya sadar jika mencari kebijaksanaan adalah perjalanan yang bukan sebatas meraih gelar sarjana.

Orang-orang bergelar bukan berarti orang-orang bijaksana. Jika berbicara tentang topik kebijaksanaan secara ilmiah, penelitian tentang itu mulai berkembang di luar negeri. Berbeda dengan Indonesia, penelitian tentang kebijaksanaan masih dihitung jari. Sesungguhnya saya tidak bermaksud untuk menceritakan tentang kebijaksanaan secara utuh. Melainkan salah satu langkah kebijaksanaan yang hilang, yaitu mencari ilmu.

Padahal, kita adalah negara dengan penganut agama yang menganjurkan dan mengutamakan para pencari ilmu. Peneliti luar negeri memiliki hasrat mencari yang begitu besar. Sementara kita, semangat belajar itu sendiri telah lama hilang di dalam diri kita. Saya percaya bahwa belajar bukanlah tentang gelar akademik yang panjang. Saya bahkan semakin meragukan orang-orang yang punya sederet gelar panjang. Perlahan gelar itu menjadi mata uang sosial yang secara langsung mengubah cara kita memandang pendidikan.  

Aristoteles pada suatu waktu berpesan, “educating the mind without educating the heart is no education at all” kita mendidik pikiran tanpa menumubuhkan perasaan yang lebih peka atau lebih terdidik. Seperti halnya lirik lagu “Indonesia Raya” pada bagian “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Terlihat bahwa W.R Supratman menyimpan harapan yang senada seperti Aristoteles. Jiwa yang merasa, telah dilupakan demi hal yang dianggap jauh lebih penting dari semua itu. 

Maka bukan hal yang mengherankan jika Indonesia terus diserang atau dikhianati oleh orang-orang yang merasa pintar secara pikiran. Lalu apa yang mesti kita lakukan untuk terlepas dari kondisi ini? Harapan kita, Indonesia butuh orang-orang yang benar-benar belajar dengan ketulusan.

Saya pernah iseng dengan beberapa teman yang sedang melanjutkan studi S2 di dalam dan di luar negeri, saya bertanya, “Mengapa kau harus melanjutkan S2-mu?” jawabannya singkat padat dan jelas, “Saingan semakin banyak, saya harus segera lulus dan dapat pekerjaan, entah jadi dosen atau buka praktek psikologi.” Sepintas tidak ada yang keliru dengan jawaban itu, jawaban teman saya itu pernah muncul di film dokumenter berjudul “Ivory Tower.” Di tahun 2014, Andrew Rossi membuat film itu untuk menggambarkan nilai pendidikan di masa sekarang. 

Di dalam film dokumenter itu terlihat bahwa para mahasiswa mulai menghilangkan nilai-nilai pendidikan yang semestinya. Mereka melanjutkan pendidikan demi mendapatkan gaji tinggi atau pekerjaan yang menjanjikan. Bukan lagi karena rasa ingin tahu dan upaya untuk menghasilkan temuan yang bermanfaat bagi sesama. Nah, jika saya kembali pada kebijaksanaan, ada temuan menarik dari para peneliti kebijaksanaan. Mereka baru saja menemukan tiga hal penting terkait kebijaksanaan tahun kemarin (2015).

Tiga hal tersebut adalah practical, philosophical, and benevolent.Pertama, terkait arti dari practical dimaknai dengan berfokus pada hal yang bermanfaat di kehidupan sehari-hari. Kedua, philosophical bermakna keterampilan kita dalam melihat semesta dan melihat pelajaran yang ada. Ketiga, benevolent meliputi kemampuan berkorban, mensejahterakan sessama, berani, sederhana dan spiritual. Sejumlah hal tersebut menjadi prototype dari kebijaksanaan.

Mencari kebijaksanaan menjadi menarik sebab mereka percaya bahwa menemukannya mampu memberi kehidupan yang lebih baik. Para pencari ilmu barangkali seperti anak kecil yang tak henti-hentinya menikmati permainan yang sedang mereka jalani. Mereka terus menemukan inovasi tanpa hilangnya semangat mencari. Mungkin saja, Indonesia tetap berada pada titik yang mencemaskan, salah satunya disebabkan oleh kehilangan rasa itu. Jika rahim pendidikan tidak memberi kebijaksanaan, pesan Aristoteles di atas patut menjadi bahan refleksi kita hari ini.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun