Mohon tunggu...
Muhamad Budi Hermawan
Muhamad Budi Hermawan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional Angkatan 2018
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Nasional Cabang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Siri Sebagai Ahli Waris Dalam Perspektif Hukum Perdata Dan Hukum Islam

6 April 2020   23:34 Diperbarui: 7 April 2020   00:04 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

By Muhamad Budi Hermawan

Pada masa sekarang, di tengah perkembangan zaman yang semakin pesat tentunya melahirkan dampak interaksi sosial yang semakin berkembang pula. Salah satu dampak buruknya adalah munculnya pergaulan bebas yang ditandai dengan adanya perilaku menyimpang dari norma, seperti pesta miras, pesta narkoba ataupun Free sex yang kebanyakan dilakukan oleh remaja maupun masyarakat yang sudah dewasa khususnya para pekerja seks.

Buruknya, bagi seorang pelaku free sex yang tidak mau memiliki anak luar kawin, akan berusaha melakukan aborsi ketika anak tersebut didalam kandungan atau membuangnya ketika telah lahir. Padahal anak merupakan anugrah sekaligus penerus generasi suatu keluarga yang harus dilindungi dan meskipun anak tersebut adalah anak luar kawin, keluarga tetap harus melindungi dan mengakui karena ia adalah darah daging dan bagian keluarga yang tak dapat dipisahkan.

Selain aborsi dan membuang anak, ada juga masyarakat yang melakukan free sex dan memilih untuk menikah siri agar dapat menutupi anak yang lahir sebagai aib sehingga anak tersebut dianggap anak sah oleh negara, agama, serta masyarakat. Padahal, anak hasil perkawinan siri juga termasuk anak luar kawin karena perkawinan siri tidak diakui di Indonesia.

Di Indonesia, ada dua jenis anak luar kawin, yaitu anak luar kawin yang diakui secara sah dan anak luar kawin yang tidak diakui. Anak luar kawin yang diakui dengan sah ialah anak yang dibenihkan oleh suami atau istri dengan orang lain yang bukan istri atau suaminya yang sah. Anak luar kawin ini harus mendapat pengakuan yang sah, atau ia dianggap tidak ada. Sedangkan anak luar kawin tidak diakui adalah anak luar kawin yang tidak mendapat pengakuan yang sah dari kedua orang tuanya, seperti anak buangan, atau yang mendapat pengakuan kedua orang tuanya tetapi tidak disahkan.

Bagi sebuah pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita yang keduanya sama-sama berstatus lajang, namun sebelumnya telah melakukan hubungan suami istri, maka masyarakat memandang anak dari perkawinan tersebut sebagai anak luar kawin hasil seks bebas dimana ibunya hamil diluar nikah sehingga ayahnya terpaksa menikahi ibunya secara siri untuk menutupi aib kehamilannya. Anak hasil perkawinan siri juga seringkali dikucilkan oleh keluarga kedua orang tuanya karena biasanya perkawinan siri terjadi tanpa persetujuan pihak keluarga, atau dengan persetujuan yang terpaksa.

Dalam persoalan waris, pada umumnya peristiwa pewarisan terjadi antara orang tua dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah sehingga masalah pewarisan yang terjadi hanya dengan anggota keluarga inti saja, namun seiring berkembangnya masyarakat, peristiwa pewarisan juga semakin bervariasi, seperti warisan dari anak jatuh ke orang tua, saudara, pamannya, bahkan jatuh pada orang lain sebagai wasiat. Dengan lahirnya anak luar kawin, khususnya anak dari perkawinan siri, maka harta warisan pun menjadi rumit karena anak luar kawin juga berhak atas harta tersebut.

Di Indonesia terdapat beberapa jenis hukum waris yang diberlakukan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, seperti hukum waris perdata yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) buku II tentang kebendaan dan berlaku bagi masyarakat pada umumnya. Kedua, hukum waris Islam yang diatur dalam Al-Qur'an, Hadist, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku II tentang hukum kewarisan.

Meskipun memiliki persamaan dan perbedaan, masyarakat bebas memilih sendiri hukum mana yang ingin diberlakukan untuk melakukan suatu pewarisan dan menyelesaikan masalah pewarisan tersebut, meskipun pada parktiknya juga sering menimbulkan ketidakstabilan hukum dikarenakan hukum yang digunakan masyarakat yang satu berbeda dengan masyarakat yang lainnya.

Bagi status waris anak di luar nikah atau anak hasil perkawinan siri, praktiknya banyak masyarakat yang tidak tahu boleh tidaknya memberikan harta warisnya kepada anak dari perkawinan siri dan bahkan terkadang diperlakukan selayaknya anak sah, karena memang anak tersebut sah secara agama sehingga seluruh warisan akan diberikan kepadanya yang akhirnya menyulut kemarahan ahli waris lainnya, namun ketika terjadi sengketa di pengadilan, ia dinyatakan hanya mendapat sebagian kecil harta atau tidak mendapat apapun karena kedudukannya yang lemah di dalam hukum positif di Indonesia.

Banyak pula anak hasil perkawinan siri yang tidak disahkan dan kedua orang tuanya juga tidak melakukan itsbat nikah hingga anak tersebut dewasa dan orang tuanya meninggal. Akibatnya, anak tersebut tidak memiliki hubungan perdata dan hubungan apapun dengan orang tuanya, terutama ayahnya. Anak hasil perkawinan siri juga sering mendapat diskriminasi dari pihak keluarganya sendiri ketika pewarisan terjadi, seperti pengurangan harta warisan dari yang seharusnya diberikan kepadanya, meskipun kedua orang tuanya telah mengakui anak tersebut ataupun telah melakukan itsbat nikah sehingga anaknya menjadi anak sah. Hal ini tentu tidak sesuai dengan aturan hukum waris yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dengan mempertimbangkan banyaknya timbul permasalahan atau sengketa tentang pewarisan kepada anak luar kawin hasil perkawinan siri, maka penting sekali kejelasan dan perlindungan hukum untuk anak luar kawin, khususnya hasil perkawinan siri sebagai ahli waris di Indonesia agar anak tersebut tidak mendapat diskriminasi dari berbagai pihak. Selain itu, hak dan kewajiban anak tersebut bisa terpenuhi secara maksimal, serta untuk mempertegas bahwa anak luar kawin juga diakui dan dilindungi oleh hukum yang berlaku di Indonesia seperti halnya anak sah, anak tiri maupun anak angkat.

Dalam hukum waris barat, anak luar kawin dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu anak luar kawin yang diakui dan anak luar kawin yang disahkan. Anak yang disahkan memiliki kedudukan yang berbeda dengan anak yang hanya diakui. Anak yang diakui tetap memiliki kedudukan sebagai anak luar kawin, meskipun secara hukum ia memiliki hak yang hampir sama dengan anak sah. Seorang anak luar kawin dapat diakui sebelum terjadinya perkawinan yang sah antara salah satu orang tuanya dengan orang lain yang bukan orang tuanya, dan keberadaan anak tersebut tidak mengganggu perkawinan orang tuanya dan orang lain itu. Bagian warisan anak semacam ini adalah 13 bagiannya apabila ia anak sah, jika mewaris bersama golongan 1, yaitu anak sah, maupun istri sah orang tuanya. Lalu 12 bagian apabila ia mewaris bersama golongan II dan III yakni kakeknya, paman dan bibi, maupun buyut anak tersebut, serta 34 bagian apabila ia mewaris bersama golongan IV, yaitu orang dengan kerabat yang lebih jauh dari orang tuanya yang menjadi pewaris.

Pada dasarnya anak dari hasil perkawinan siri dapat dikategorikan dalam anak yang disahkan karena ayah biologisnya menikahi ibu biologisnya secara agama sehingga seharusnya bagian warisnya pun disamakan dengan anak dari perkawinan yang sah. Pembagian warisan anak sah adalah sama rata, yaitu satu banding satu. Anak sah merupakan golongan I dan memiliki sifat menutup golongan yang lebih jauh. Kedudukan anak dari perkawinan siri ini sebagai anak yang disahkan dipatahkan dengan adanya keharusan mencatatkan pernikahan baru dia bisa diakui Negara sebagai anak sah sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974, sehingga berlakulah asas lex specialis derogate legi generalis.

Dalam sistem hukum Islam, perkara waris memiliki kedudukan yang sangat penting dikarenakan terkait timbul dan lenyapnya hak dan kewajiban seseorang terhadap suatu harta peninggalan yang apabila tidak terselesaikan dengan baik tidak jarang menimbulkan adanya konflik panjang dalang sebuah keluarga. Pewarisan hukum Islam sangat berbeda dengan hukum perdata yang dalam Pasal 833 KUH Perdata bahwa ahli waris tidak hanya mewarisi harta si pewaris saja, melainkan juga seluruh utang-piutangnya, sedangkan dalam hukum Islam, suatu harta peninggalan diperuntukkan bagi biaya perawatan, utang-piutang, wasiat dan waris itu sendiri

Dalam pandangan kedua hukum tersebut terdapat perbedaan yang mencolok. Pengertian hubungan perdata antara anak dan ayah biologisnya sangatlah berbeda. Dalam perspektif Hukum Islam, dibedakan antara hubungan nasab dan hubungan perdata. Kata nasab (bhs. Arab) secara harfiah (ethimologi) berarti keturunan, pertalian darah, persaudaraan. Secara istilah (therminologi) diartikan sebagai hubungan kekerabatan antara seorang dengan orang lain karena keturunan, pertalian darah dan persaudaraan. Sebagai akibat dari adanya hubungan nasab, maka timbulah hak dan kewajiban antara orang yang mempunyai hubungan nasab tersebut yang mencakup hak-hak nasab dan hak-hak keperdataan. Hak-hak nasab, seperti hak saling mewarisi, hak menjadi wali nikah terhadap seorang anak perempuan ketika melangsungkan aqad nikah, hak seorang anak untuk menggunakan nama bapaknya sebagai bin atau binti dibelakang namanya. Hak-hak nasab semacam ini tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai hubungan nasab.

Adapun hubungan perdata digunakan hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan si anak yang merupakan tugas orang tua dalam bidang kesejahteraan, biaya pendidikan, nafkah, perawatan dan pengasugan atau pemeliharaan anak. Tugas-tugas tersebut dapat dialihkan dari orang yang mempunyai hubungan nasab/pertalian darah kepada orang lain. Dalam kasus pengangkatan anak misalnya, masalah nasab tidak boleh berubah, seperti wali nikah, hak saling mewaris dan pemakai nama bapak (bin atau binti tidak boleh seorang anak dinisbahkan kepada orang lain yang bukan bapaknya. Adapun masalah keperdataan, seperti perawatan, nafkag hidup, biaya pendidikan anak, dan lain-lain, seorang anak angkat dapaat memperoleh dari siapa saja yang bersedia menjadikannya sebagai anak angkat. Jadi, keperdataan tidak mencakup di dalamnya hubungan nasab.

Pembagian warisan dalam hukum perdata maupun hukum Islam disamakan dengan anak sah. Meskipun demikian, kedua bagiannya tetaplah berbeda.

Pembagian warisan dalam hukum perdata didasarkan pada golongan-golongan yang berhak menerima warisan berdasarkan derajat dan kerabat, mulai dari yang terdekat hingga terjauh tanpa adanya perbedaan jenis kelamin. Derajat yang lebih dekat dengan pewaris, misalkan anak dapat mewarisi seluruh harta peninggalan pewaris tanpa memperhatikan ahli waris lainnya dengan derajat yang lebih jauh, karena otomatis derajat yang lebih jauh akan tertutup. Hal ini juga berlaku bagi ibu dan bapak pewaris yang berada dalam golongan II.

Dalam kasus anak luar kawin yang didapatkan dari perkawinan siri, Hukum Islam meletakkan status anak tersebut seimbang dengan anak sah, karena perkawinan siri merupakan perkawinan yang disahkan secara Islam dan telah memenuhi rukun maupun syarat sah diberlakukannya suatu perkawinan. Oleh sebab itu, anak luar kawin dari perkawinan siri berhak memperoleh bagian harta warisan dari pihak ibu maupun ayahnya sesuai ketentuan yang berlaku.

Adapun ketentuan pembagian warisan bagi anak luar kawin yang didapatkan dari perkawinan siri dalam hukum Islam akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut:

1. Ahli Waris Anak Perempuan

Ahli waris anak perempuan baik satu orang atau lebih, disebut ahli waris dzawil furudh, hal ini karena bagian warisan mereka telah ditentukan dalam nash Al Qur'an. Bagian warisan dari anak perempuan ada terbagi menjadi dua macam, yaitu (1) apabila hanya ada seorang anak perempuan, maka ia mewarisi 12 harta peninggalan. (2) apabila ada beberapa anak perempuan maka ia mewarisi 23 dari harta peninggalan.

2. Ahli Waris Anak Laki-Laki

Jika yang mewaris itu hanya anak laki-laki saja, maka mereka disebut ashabah binafsih, yakni ahli waris yang menghabiskan sisa harta setelah diambil untuk bagian ahli waris dzawil furudh, bila ada. Seperti suami atau istri dari pewaris, ayah si pewaris, atau ibunya, atau kakeknya. Dalam hal ini, bagian warisan pewaris lainnya dihitung terlebih dahulu, barulah sisanya diberikan kepada anak laki-laki karena mereka berhak mewaris seluruh sisa harta.

Namun, apabila si mati meninggalkan anak laki-laki lebih dari seorang, sedangkan ahli waris lain tidak ada, maka dalam keadaan seperti ini harta warisan dibagi rata kepada anak laki-laki. Namun, apabila si mati hanya meninggalkan seorang anak laki-laki maka seorang anak laki-laki tersebut menjadi ashobah. Dengan demikian seluruh harta waris menjadi haknya.

3. Ahli Waris Anak Laki-Laki dan Perempuan

Jika ahli waris anak perempuaan itu mewaris bersama anak laki-laki, maka mereka disebut ahli waris ashabah bil ghair, artinya mereka menghabiskan sisa harta bersama anak laki-laki, karena mereka mewaris bergabung bersama anak laki-laki. Dalam hal ini, ditentukan bahwa bagian warisan anak laki-laki adalah dua kali anak perempuan.

Meskipun anak hasil perkawinan siri dihitung anak sah menurut hukum Islam, namun kelemahan yang terdapat dalam praktik waris seperti ini terletak pada tidak adanya kekuatan hukum karena tidak adanya pencatatan di KUA. Oleh karena itu, maka apabila terjadi perselisihan terutama akibat warisan, hanya dapat diselesaikan melalui jalur kekeluargaan.

Untuk melindungi hak-hak anak hasil perkawinan siri, orang tua dapat melakukan itsbat nikah agar pasangan suami istri yang melakukan perkawinan siri akan mendapatkan akta pernikahan dan pernikahannya dianggap sah di depan hukum, begitu juga dengan anaknya yang berstatus anak zina atau anak luar kawin akan berubah menjadi anak sah sehingga dilindungi oleh hukum.

Anak hasil perkawinan siri meskipun lahir dalam suatu perkawinan yang sah menurut hukum Islam, tetapi tetap dipandang sebagai anak yang lahir diluar perkawinan oleh hukum Islam yang diberlakukan di Indonesia. Karena hal tersebut, apabila yang meninggal ayahnya, ia tidak bisa mendapat warisan, namun apabila yang meninggal ibunya, ia berhak atas warisan tersebut.

Dari penjelasan tersebut penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1.Pewarisan terhadap anak dari hasil perkawinan siri sangat berbeda dalam dua sudut hukum. Meskipun sama-sama dapat mewaris sebagai anak sah, tetapi bagian warisnya berbeda. Dalam hukum perdata, bagian warisnya dibagi rata. Sedangkan dalam hukum Islam, anak hasil perkawinan siri dihitung sebagai anak sah. Bagian anak perempuan adalah 12 apabila ia anak satu-satunya, dan 23 apabila ada lebih dari satu anak perempuan. Sedangkan bagian anak laki-laki adalah seluruh sisa harta warisan yang telah dibagi dengan ahli waris lainnya. Apabila anak laki-laki mewaris bersama anak perempuan, maka bagian anak laki-laki tersebut adalah dua kali anak perempuan.

2.Pada dasarnya anak dari hasil perkawinan siri dapat dikategorikan dalam anak yang disahkan karena ayah biologisnya menikahi ibu biologisnya secara agama sehingga seharusnya bagian warisnya pun disamakan dengan anak dari perkawinan yang sah. Pembagian warisan anak sah adalah sama rata, yaitu satu banding satu. Anak sah merupakan golongan I dan memiliki sifat menutup golongan yang lebih jauh. Kedudukan anak dari perkawinan siri ini sebagai anak yang disahkan dipatahkan dengan adanya keharusan mencatatkan pernikahan baru dia bisa diakui Negara sebagai anak sah sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974, sehingga berlakulah asas lex specialis derogate legi generalis.

3.Meskipun anak hasil perkawinan siri diakui secara sah dalam hukum Islam dan mendapat bagian yang sama dengan anak sah, tetapi hal ini tidak berlaku di Indonesia. Hukum Islam yang diberlakukan di Indonesia tetap tidak mengakui adanya perkawinan siri, sehingga anak tersebut hanya bisa mewarisi harta ibunya, bukan ayahnya. Apabila ia tetap ingin mewarisi harta ayahnya, bisa tetap dibagi berdasar acauan pembagian yang ada, tetapi apabila ada sengketa hanya bisa diselesaikan melalui jalur kekeluragaan karena anak hasil perkawinan siri juga tidak memiliki kedudukan apapun dalam hukum yang berlaku di Indonesia.

DAFTAR BACAAN

Sudarsono. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta, n.d.Tim Prima Pena. Jakarta: Gitamedia Press, 2006.

Effendi Perangin. Hukum Waris. 12th ed. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014.

Hartono Suryopratikno. Hukum Waris Tanpa Wasiat. Yogyakarta: Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1982.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun