Sejak memasuki peradaban modern yang berlangsung sejak abad ke - 18 hingga puncaknya pada awal mula abad ke - 20 telah mengalami perubahan signifikan di beberapa aspek kehidupan yang berdasar dari pemikiran dan semangat mencapai kemajuan atau dikenal sebagai revolusi. Pada saat itu juga , eropa yang telah memiliki segala kemampuan revolusioner memutuskan mengulik ke berbagai penjuru dunia termasuk ke Benua Asia. Salah satu negara Eropa yakni Britania Raya atau Inggris mendatangi India dan siap menguasai kawasan tersebut yang pada saat itu Kerajaan Mughal masih berkuasa akan tetapi sudah menemui keruntuhannya. Ketika Inggris datang , kawasan India dinamai sebagai British Raj.Â
Seperti budaya penjajah lain , Inggris melakukan berbagai penindasan terhadap penduduk India maupun dari umat Hindu dan Islam. Tak sedikit dari mereka dijadikan budak atau objek kekerasan sehingga penduduk merasa geram yang akhirnya dengan tekad bulat , mereka melakukan pemberontakan melawan Inggris secara fisik. Penduduk disini , terkhusus kepada umat Islam India membenci apapun yang berkaitan dengan Barat karena telah mendapat trust issue kurang mengenakan dari mereka , bahkan ulama - ulama mengeluarkan fatwa - fatwa yang mengharamkan segala yang ada kaitannya dengan Barat.Â
Diantara cendekiawan muslim India yang berusaha mencari tindakan agar kedua belah pihak kembali mereda , muncul seorang cendekiawan muslim bernama Sir Sayyid Ahmad Khan. Beliau yang masih memiliki darah keturunan dari Husein bin Ali dari pihak ayahnya ini lahir di Delhi pada 17 Oktober 1817 dengan bernama lengkap Sir Sayyid Ahmad Khan Ibnu Al - Mutaqqi Ibnu al - Hadi al - Hasani ad - Dahlawi. Cendekiawan muslim yang cerdas ini wafat di Aligarh pada 27 Maret 1898 di usia 81 tahun.Â
Kehidupan perdananya dahulu mendapat pendidikan islam tradisional dari ayahnya , Sayyid Muhammad Mutaqqi Khan yang merupakan salah satu pengikut aliran tarekat Naqsabandiyah lalu mendapat pendidikan dari Syekh Ghulam Ali , salah satu mursyid tarekat Naqsabandiyah. Selain mempelajari ilmu agama dan Al - Qur'an , beliau juga mempelajari Bahasa Persia , Arab , Matematika , Geografi , Sejarah , dan lain - lain. Pada usia 19 tahun , Sayyid Ahmad Khan bekerja di EIC dan aktif sebagai juru tulis di Departemen Kemasyarakatan di divisi Departemen Kriminal di Delhi.Â
Pada umur 24 tahun , Sayyid Ahmad Khan menjadi mushnif atau pembantu hakim di Patihpur Distrik Agra sampai dia diangkat lagi menjadi mushnif di Bignaur. Ketika masih menjabat sebagai mushnif , terjadi peristiwa pemberontakan yang melibatkan Kerajaan Mughal dengan Inggris tahun 1857. Tindakan pejuang dari Kerajaan Mughal yang telah membunuh prajurit Inggris membuat Inggris marah sehingga menindak balik apa yang telah mereka perbuat. Oleh karena itu , Ahmad Khan menyampaikan kritik kepada para pejuang muslim yang anti - Inggris yang selalu melakukan penyerangan serta menyarankan konfrontasi itu sebaiknya diganti dengan cara lebih aman yakni menggunakan cara diplomasi sebagai jalur tengah menyelesaikan masalah. Atas tindakan beliau itulah  , pihak Inggris memberikan gelar kehormatan Sir kepada Sayyid Ahmad Khan.Â
Sebagai penganut aliran Qadariyah , Sayyid Ahmad Khan menyatakan manusia telah dianugerahi oleh Allah SWT berupa daya pikir yang disebut akal sekaligus daya pikir untuk mewujudkan kehendaknya. Akal manusia menjadi sumber utama untuk menentukan perbuatan dan tindakan melalui perenungan dan pertimbangan secara mendalam. Sementara itu , beliau menilai kerentanan penduduk India khususnya Islam yang selalu gagal menang melawan Inggris disebabkan oleh mereka yang tidak mau mengakui kekuatan akal dan kebebasan manusia memperoleh ilmu pengetahuan terbaru yang dimiliki Inggris. Padahal , saat masa Dinasti Abbasiyah , umat islam cenderung membuka wawasan lebih luas mengandalkan sumber daya pikir untuk menciptakan inovasi baru yang akan berguna di peradaban seterusnya. Ini juga didukung oleh faktor kepercayaan diri umat Islam yang rendah lebih menganggap Inggris lebih kuat serta memiliki pemikiran yang cenderung tradisional.Â
Maka , Ahmad Khan mengkontra paham tersebut dengan cara menghidupkan kembali paham kebebasan manusia dalam berkehendak yang akan berdampak pada nasibnya di masa mendatang sebagaimana prinsip ajaran aliran Qadariyah. Umat Islam harus mengutamakan daya pikir untuk mencari cara lain yang lebih damai tanpa harus melibatkan kekerasan fisik meskipun tetap mengklaim mereka sebagai penjajah melalui cara diplomasi. Inggris memang datang untuk menjajah yang membawa dampak buruk , namun tidak boleh sampai mengharamkan semuanya termasuk sisi positif mereka yang memiliki dasar kemajuan teknologi dan pengetahuan maju sehingga bisa berkuasa di tanah mereka.Â
Berdiplomasi dengan Inggris bukan berarti takut dan tunduk pada koloni Inggris , tapi ini adalah pilihan realistis dengan memandang Inggris secara positif sebagai inspirasi di bidang sains dan teknologi. Sayyid Ahmad Khan mengambil posisi diplomasi garis miring yakni melakukan kritik pada pemerintah Inggris tapi juga menerima kebijakan yang tidak merugikan rakyat India yang berfokus pada pembangunan pendidikan dan kesehatan bagi rakyat India yang menjadi hal penting bagi mereka semua dimanapun berada.Â
Intinya , Sayyid Ahmad Khan lebih mengutamakan persaingan sehat dengan melihat sisi positif untuk dijadikan inspirasi kemajuan di berbagai bidang seperti pendidikan , kesehatan , teknologi yang dimiliki pihak rival. Selain itu , beliau mengambil cara diplomasi dengan pihak rival sebagai langkah lain untuk menghindari konfrontasi yang hanya membuang tenaga dan biaya meskipun beliau tetap menganggap penjajahan Inggris sebagai tindakan kejahatan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H