Di suatu sore di persimpangan jalan pelabuhan Port Nangor. Aku berjalan sendiri memegang sebotol anggur yang baru saja kubeli dari sebuah kedai di persimpangan jalan. Kepalaku tertunduk, berjalan begitu lesu-aku tak memperhatikan keadaan sekitarku sedikitpun, hatiku kosong, hancur, kepalaku penat, doa yang ku tujukan kepada langit di sebuah gereja diatas bukit tak terjawab.
aku melihat seorang putri :
berjalan begitu anggunnya dibawah terik matahari tengah hari
yang semakin indah dipandang saat ia melangkah dibawah bias cahaya kanopi biru
yang tidak sibuk mencari secarik tissue dari sakunya untuk menghapus peluh di wajahnya
yang menetapkan atapnya jauh dari tempat yang bernama kampus pembebasan
yang tetap berteriak melatih barisan-prajurit malam inisiasi meski hujan deras membasahi sekujur tubuhnya.
Aku baru saja dari kediamannya sebelumnya aku memang sudah pergi ke gereja diatas bukit berlutut dan memohon sebuah kekuatan dan keberanian untuk bertemu sang putri. Aku kemudian melangkahkan kakiku ke istana sang putri. Setibanya di depan kamarnya tak seorangpun yang membuka pintu. Istananya gelap gulita, tirainya tertutup rapat. Dikacanya terpampang kertas yang bertuliskan untuk jangan memakan bubuk tulang harimau serta gambar seorang wanita dengan tatapan kosong dengan sudut ambil gambar dari samping, aku tertawa rupanya putri lebih sayang terhadap harimau yang buas.
Seorang wanita dari atas balkon istana memperhatikanku yang sedang berwajah kesal bercampur gugup, raut wajahnya terlihat penasaran terhadap ku, sepertinya dia ingin tahu apa urusanku datang ke tempat sang putri. Masa bodo amat, ini cintaku bukan cintanya susah senang aku yang tanggung bukan dia.Kemudian dari sampingku datang seorang wanita. Mukanya berparas asia, sepertinya ia juga tinggal bersama sang puteri mungkin dia pendatang dari daratan cina yang biasanya tinggal selama empat tahun, kemudian kembali lagi ke tempat asalnya, aku bertanya keberadaan sang puteri dia menjawab sang puteri tidak ada. Aku menitipkan pesan kepadanya bahwa aku datang untuk menjumpai sang putri.
Aku berjalan begitu pelan meninggalkan kediaman sang puteri sambil tertunduk lesu. Padahal aku hanya ingin melihat wajahnya yang begitu surgawi, tidak untuk berbicara lama-lama. Aku kacau, tidak fokus, mulai kepalaku berbicara, sang putri sepertinya sudah menetapkan sang pangerannya, aku bukan kelasnya aku hanya tukang jagal, pria berwajah murahan, tidak aristokrat, tidak monumental.
Aku ingin berteriak, tetapi tidak mungkin, bisa-bisa orang pikir aku gila, aku berjalan menuju persimpangan pelabuhan, matahari hampir tenggelam memantulkan cahaya kuning kemerah-merahan, sepi, tenang, dan, sunyi. Aku melihat sebuah kedai anggur. Anggur murahan yang biasa diminum oleh anak buah kapal selepas berlayar dari lautan lepas. Pikirku solusi ada di kedai itu. Aku beli, harganya tiga belas kepeng. Penjualnya hitam, gemuk, dan buncit, tidak ada keramahan di wajahnya, kelihatan bahwa ia orang pelabuhan yang dibesarkan dengan kehidupan yang keras, dalam hatiku “kau bisa dibesarkan oleh kehidupan yang keras aku hidup di dunia yang perlu perjuangan cinta yang begitu keras, dan aku selalu kalah . lebih keras daripada memperjuangkan sesuap nasi. Buru-buru aku berikan uang tiga belas kepeng kepadanya dan kemudian pergi meninggalkan kedai itu.