Paska hari Raya Idhul Fitri 1437 H atau bulan awal bulan Juli 2016 saya pertama kalinya mengenal Kompasiana. Yang mana, kebetulan saya bertemu salah satu penulisnya di Kota Magelang, Jawa Tengah dan berbicara lumayan banyak tentang Kompasiana. Setelah itu saya pun kerap mengikuti perkembangan bagian dari Kompas group ini walau pun sebatas sebagai silent riders.
Ada keinginan untuk menulis seperti teman- teman lainnya di Kompasiana, namun posisi saya sebagai guru SD di pelosok Kabupaten Magelang sering menghambat. Sinyal modem kerap mengganggu, belum lagi kesibukan di luar mengajar yang cukup padat. Hingga bulan Desember 2016 saya berusaha membuat akun, anehnya ternyata tidak mudah. Lebih dari 10 kali mendaftar selalu gagal terus menerus sehingga saya hampir putus asa.
Walau tidak pernah berhasil membuat akun tetapi bukan berarti saya pasif. Sambil membaca beragam tulisan tanpa memberikan komentar saya pun tetap berusaha kembali mendaftar. Hingga hari Selasa tanggal 7 Maret 2017 malam, iseng- iseng saya mengisi kolom pembuatan akun. Ajaib, hanya kurang dari 10 menit sudah dinyatakan sukses dan yang menggembirakan langsung terverifikasi karena memang semua syarat sengaja saya penuhi.
Karena selama menjadi silent riders selalu meluangkan waktu untuk membaca tulisan pak Tjiptadinata Effendi, pak Bambang Setyawan, pak Gordi, ibu Gaganawati Stegmann, ibu Maria G Soemitro, ibu Mike Risyent serta penulis non politik lainnya, begitu memiliki akun saya segera berkunjung ke tulisan mereka. Bagi saya mereka adalah penulis – penulis hebat yang ada di Kompasiana.
Selama sepekan lebih saya membandingkan satu tulisan dengan tulisan lainnya. Ada hal yang cukup mengherankan, di Kompasiana terdapat penulis- penulis kawakan. Ada yang pernah menerbitkan buku, ada akademisi, praktisi pendidikan, wartawan sampai seorang pemimpin redaksi ikut jadi penulis. Anehnya para penulis kawakan itu kurang berkibar namanya di Kompasiana. Fenomena  apa ini ?
Dulu sebelum mengenal Kompasiana, yang namanya wartawan bagi saya adalah orang yang hebat. Seseorang mampu menjadi jurnalis pasti sangat mumpuni di bidang tulis menulis, apa lagi seorang pemimpin redaksi. Yang mengherankan di Kompasiana penulis kawakan (pemimpin redaksi) hanya menjadi figuran. Sempat saya pelototi seharian kualitas tulisan mereka biasa- biasa saja, pantas hanya numpang lewat.
Begitu juga penulis – penulis kawakan lainnya yang bukan berasal dari media umum, dari profil yang saya pelajari tulisannya tidak ada yang menonjol. Sedangkan yang saya ketahui selama ini, kualitas tulisan bisa dilihat parameternya dari jumlah headline dan tingkat keterbacaan. Bagi saya agak aneh kalau orang yang setiap hari bergelut dengan kata malah tidak mampu menempatkan dirinya di Kompasiana. Harusnya mereka melebihi dari penulis non media cetak.
Saya memang kurang suka dengan tulisan politik dengan alasan sederhana. Sehebat apa pun analisa politik di Kompasiana tidak akan merubah arah politik di DPR RI mau pun para pentolan parpol. Sebaliknya tulisan – tulisan yang bersifat human interest saya anggap lebih mengena karena mampu merubah nasip seseorang.
Ketika mengikuti tulisan pak Bambang Setyawan yang selalu ditulis dengan bahasa ringan, tetapi ternyata memiliki efek yang luar biasa. Ada beberapa tulisannya yang sanggup merubah nasip nara sumbernya. Tulisan pak Tjiptadinata yang juga ditulis dengan bahasa sederhana dan merupakan pengalaman pribadi beliau, rasanya mampu mengispirasi pembacanya. Orang yang membaca tulisan pak Tjiptadinata menurut saya banyak yang merubah pola pikirnya.
Tulisan pak Gordi yang mayoritas dari luar negeri selalu mengandung nilai human interest yang tinggi. Begitu juga tulisan ibu Maria G Soemitro dan ibu Gaganawati yang dibuat dengan bahasa yang riang memperlihatkan beliau merupakan orang yang selalu optimis dalam kehidupan. Masih banyak tulisan- tulisan yang lain dengan karakter tulisan yang humanis, itulah yang mampu mengubah sesuatu.
Sebagai newbie mungkin penilaian saya keliru untuk itu saya dengan sadar meminta maaf. Karena penilaian saya bersifat subyektif dan tentunya dimaklumi karena saya belum pernah sekalipun menulis di media mana pun. Bahkan untuk menyelesaikan tulisan perdana ini saja, saya membutuhkan waktu hampir tiga hari. Melewati proses revisi berulangkali akhirnya hari ini memberanikan diri memulainya. Kesimpulan akhir menulis itu mudah yang sulit adalah menulis dengan hati sehingga mendapatkan kepercayaan dari pembaca.