Baru saja [2/6/13, sekitar 12.15], di Seputar Indonesia Siang, diangkat profil siswa berprestasi di Tulung Agung, Jawa Timur. Metta Indriani yang meraih predikat tersebut. Profil diangkat dengan tagline 'profile kemiskinan'.
Nasib malang sang siswi pun digambarkan dengan hanya pasrah saja menjadi pelayan sebuah toko. Padahal dia bercita-cita menjadi guru matematika. Namun kendala biaya yang membuat niatnya untuk kuliah terancam tidak terlaksana.
Sangat ironis memang, siswa berprestasi kebingungan dengan baiaya untuk kuliah.
Sebenarnya, biaya kuliah untuk saat ini meski mahalnya selangit bukanlah kendala, apalagi bagi siswa yang memiliki prestasi. Sebut saja program kemdilbud yang bernama Bidikmisi. Ini bisa menjadi ssalah satu solusi.
Namun, dari profile yang diekspos barusan, seakan-akan sang siswa berprestasi tidak punya informasi yang memadai, untuk bisa mewujudkan mimpi. Pertanyaannya, apakah ini hanya sebuah profile yang didramatisir oleh media? Atau benar-benar informasi penyedia beasiswa yang bertaburan baik dari pemerintah maupun swasta/LSM tidak sampai pada sang siswi?
Jika jawabannya yang pertama, tentunya media harus dikritisi, jangan hanya mengekspose kesusahan yang sebenranya sudah ada solusi. Bahkan seharusnya media menjadi corong sosialisasi untuk berbagai program yang menjadi solusi. Lebih-lebih media itu mestinya menyediakan solusi.
Jika jawabannya yang kedua, di manakah peranan BP/BK, wali kelas, bagian kesiswaan, dan kepala sekolah? Mestinya tidak terjadi nasib malang menimpa siswa berprestasi jika sekolah proaktif mengajukan siswanya untuk mendapat beasiswa kuliah, baik dari pemerintah (yang memang sudah tersedia), maupun dari swasta/LSM yang juga cukup banyak menawarkan bantuan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H