Politik absurditas kelas menengah, menurut Martin Suryajaya berakar pada proses pembentukan ‘formasi selera intelektual’, yang bermula dari mekarnya tradisi eksistensialisme Perancis di Indonesia sejak tahun 1960-an. Selera intelektual yang belakangan menjadi tren sekaligus paradigma berfikir kelas menengah ini, sejarah pembentukannya patut diatribusikan pada salah satu pujangga kesohor: Goenawan Mohamad(GM). Selain mempromosikan “eksistensialisme madesu” dalam istilah Martin, memasuki akhir tahun 1980-an GM juga gencar membawa masuk pemikiran posmodernisme. Akibatnya mudah diterka: lahirnya kelas menengah ngehek.
Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis kebenaran sangkaan Martin (1 ataupun apologia GM (2, melainkan sekadar berpamrih mendedah lebih jauh ekspresi politik kelas menengah khususnya terkait isu pertembakauan. Saya sengaja mendudukkan GM sebagai representasi dan sekaligus model kelas menengah itu. Tentunya kelas menengah di sini bukan dalam artian konsumsi life style yang artifisial, melainkan justru mereka dari kalangan cendekia (well educated people).
Apa yang menarik dari isu tembakau? Sebagaimana nanti kita lihat, dalam isu pertembakauan dengan terang benderang memperlihatkan munculnya gejala involusi berfikir kelas menengah. Involusi berfikir ini ditandai dengan tendensi inkonsistensi epistemologi dan kontradiksi gagasan sebagai dasar bangunan kesadaran sosialnya kelas menengah.
Memang peristiwa itu sudah cukup lama berselang, dan sayangnya publik luas saat itu barangkali kurang menaruh perhatian. Maklum isunya hanya soal pertembakauan. Karena itu tulisan ini juga bermaksud menyegarkannya kembali ingatan kita tersebut.
Pada penghujung bulan November 2012, masyarakat anti-tembakau mengeluarkan “iklan” suara kepedulian bertema: Selamatkan Indonesia. Tak tanggung-tanggung, selain dimuat setengah halaman di harian cetak Kompas dan satu halaman penuh di majalah Tempo, iklan ini juga memuat kurang-lebih lima puluh nama kaum cendekiawan terkemuka yang menyeru Pemerintah dan DPR sesegera mungkin meratifikasi atau mengaksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).
Salah satu sosok sohor lagi penting penadatangan—sebutlah itu—“petisi” adalah GM. Momen petisi ini terjadi tidak berselang lama setelah aksi demo ribuan petani dari dusun sentra-sentra tembakau di Indonesia menggeruduk ibukota menolak RPP Tembakau (kini PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif). Ini tentu sungguh mengejutkan. GM, yang selama ini dikenal concern mengusung nilai-nilai kebebasan dan demokrasi—sehingga selalu tegas menolak ide-ide otoriterianisme sekalipun masih berupa benih—tetapi dalam konteks isu tembakau justru bersikap sebaliknya. Melalui petisi itu, entah sadar atau tidak, GM sebenarnya justru tengah mendorong peran dominan negara terlibat jauh dalam pengaturan masyarakat.
Tentu di sini banyak pertanyaan dapat digugatkan, antara lain: Bukankah, seandainya GM konsisten dengan paradigma dan nilai-nilai libertarian, maka semestinya pengaturan rokok cukup menjadi urusan domain privat dan bukan domain publik melalui regulasi? Bukankah, kewenangan individu memutuskan hendak merokok atau tidak seharusnya cukup didudukan pada kuasa rasio dan bukan otoritas negara (baca: ‘pro-choice’)? Bukankah, peran dominan negara mengatur norma dan etik perilaku masyarakat sebenarnya akan bertentangan dengan roh libertarian yang selama ini setia dianutnya? Bukankah, model negara yang GM kehendaki itu—sebagai implikasi langsung atau tidak langsung dari petisi itu—jelas intrinsik membawa aroma filosofi Hegelian yang fasis, yaitu model “negara integralitik” yang pada zaman Orde Baru ditolak GM?
Bahkan inkonsistensi epistemologis dan kontradiksi gagasan GM semakin nampak, lebih-lebih ketika disandingkan dengan pemikiran-pemikiran libertarian dari kaum eksistensialisme Perancis sendiri. Albert Camus, misalnya, yang filsafat absurditasnya menurut Martin dipromosikan GM jelas adalah seorang perokok berat. Saking sukanya merokok, kucing hitam kesayangan Camus bahkan dipanggil dengan nama “Cigarette”. Atau pandangan seteru polemiknya yaitu Jean Paul Sartre, yang bahkan pernah mengatakan "smoking is the symbolic equivalent of destructively appropriating the entire world". Sudah pasti kedua pemikir eksistensialisme ini melihat aktivitas merokok bukannya tindakan yang nir-makna.
Terlebih mengingat saat Camus dan Sartre masih muda, ide totaliterianisme baik itu Komunisme-Stalinisme maupun Fasisme-Hitler pernah menghantui masyarakat Eropa. Pada masa Fasisme-Hitler berkuasa di Jerman, spirit dan kebijakan totaliterianisme itu, salah satunya diwujudkan dalam propaganda standar moralitas "hidup sehat” masyarakat dengan kebijakan pelarangan rokok sebagai mekanisme upaya pemurnian ras. Dengan latarbelakang itu jelas bukan mustahil tindakan merokok bagi sebagian intelektual Eropa dianggap memuat makna simbolik tertentu dan juga ekspresi sikap eksistensialis mereka, sebagaimana nampak pada kedua filsuf eksistensialisme di atas, Camus dan Sartre.
Lebih-lebih bagi kalangan kaum perempuan feminisme. Tak sedikit di antara mereka beranggapan, merokok adalah bentuk ekspresi sikap akan kesetaraan gender yang secara simbolik bermakna mendobrak kungkungan dominasi budaya patriarkis dan feodalisme.
Saya yakin GM tentu tahu persis konteks dan latarbelakang atmosfir intelektual yang melahirkan berbagai mazhab pemikiran itu. Juga tahu bagaimana tokoh-tokoh pemikirnya memaknai aktivitas merokok. GM pasti juga tahu, di balik kampanye anti-tembakau dan lahirnya FCTC sebenarnya membonceng strategi kepentingan ekspansi modal internasional dan konteks perang dagang. Tanpa terkecuali GM pasti tahu ratusan milyar dolar AS telah digelontorkan ke berbagai negara di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, demi suksesnya agenda FCTC. Namun sungguh ironis spirit libertarian GM, juga sikap skeptisme dan kritisisme GM yang selalu diagung-agungkan itu, justru sama sekali tak muncul. Alih-alih berharap sikap keberpihakan GM sebagai representasi kelas menengah terhadap kaum petani tembakau, tentu laksana pungguk merindu bulan.
Pada titik ini saya teringat surat Ben Anderson yang pernah dimuat edisi khusus Tempo tahun 2000, sebuah tulisan sinisme yang ditujukan kepada kelas menengah di Indonesia. Ben menunjuk Sastro Kassier sebagai padanan karakter kelas menengah. Sastro Kassier alias Paiman alias Sastrowongso adalah salah satu tokoh dalam novel Anak Semua Bangsa karya Pramodya Ananta Toer. Menurut Ben, seandainya ada yang bisa disebut sebagai misi historis bagi spesies Sastro Kassier itu, maka itu adalah sekadar menjadi makelar kebudayaan antara penjajah dengan penduduk tanah jajahan, antara kapitalisme internasional dengan rakyat jelata. Dan posisi sosial Sastro Kassier itulah kini diisi kelas menengah kita, kaum cerdik pandai itu.
Quo vadis kelas menengah, apakah nantinya kita siap didakwa sebagai kaum cendikia lacur dan khianat atas bangsanya sendiri, sebagaimana kisah Sastro Kassier yang rela mengorbankan buah dagingnya demi mengejar kelangsungan ambisi dan karir?
1) http://indoprogress.com/2013/12/goenawan-mohamad-dan-politik-kebudayaan-liberal-pasca-1965/
2) http://goenawanmohamad.com/2011/08/13/tanggapan-untuk-martin-suryajaya/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H