Mohon tunggu...
Waskito Giri Sasongko
Waskito Giri Sasongko Mohon Tunggu... -

senang tulis-baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peta Pilpres 2014 dan Masa Depan Demokrasi

7 Juli 2014   23:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:06 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14047263561130419457

Barangkali, politik aliran baik itu versi Clifford Geertz dan Herbert Feith sudah kurang relevan 'membaca' peta politik Indonesia kontemporer. Pasalnya menurut sejarawan Ricklefs dalam bukunya “Islamisation and its Oppoenets in Java” (2012), Islamisasi Indonesia adalah sebuah keniscayaan sejarah yang tak terbendung. Ia menunjukkan bahwa Tanah Jawa kini makin “hijau”: Islamisasi mengalami pendalaman dan proses ini tak bisa dibalikkan. Dalam segala aspeknya varian Islam nampak cenderung mendominasi seluruh ruang pemikiran politik dan kebudayaan masyarakat secara umum. Lebih jauh menurut Ricklefs, sudah tidak ada kekuatan lain yang sanggup membendung proses Islamisasi Jawa/Indonesia.

Mundur ke belakang. Merujuk bagan pemikiran politik versi Herbert Feith (lihat gambar), pemikiran politik yang tumbuh di Indonesia paska Pemilu 1955 dibagi dalam 5 kecenderungan besar yaitu: Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme-Demokrat dan Komunisme. Merujuk bagan itu, menurut pembacaan sejarah Ricklefs berarti pemikiran politik Islam beserta kekuatan sosial-politiknya adalah satu-satunya entitas yang mengalami kesinambungan historis dan bahkan pengaruhnya cenderung membesar secara signifikan. Sedang bicara oposisi pemikiran politik kaum Komunisme dan Nasionalisme Radikal terhadap pemikiran politik Islam, jelas boleh dikata sudah berakhir paska Peristiwa G30S65. Juga entitas kaum Tradisionalisme Jawa naga-naganya pun semakin menipis sejalan implementasi proyek modernisme dan pembangunanisme Orde Baru. Sementara entitas Sosialisme-Demokrat sejak dulu selalu terbelenggu oleh kecenderungan elitisme dan kegagalan dalam memperbesar basis konstituennya.

Dus, bicara tentang fenomena politik aliran paska Orde Baru, menurut keseimpulan Ricklefs adalah boleh dikata sudah berakhir. Berakhir dengan kemenangan spectrum pemikiran politik varian Islam dalam segala aspeknya kecuali bidang ekonomi. Namun berbicara proses Islamisasi sudah tentu tidak berwajah tunggal dan satu warna.

Di satu sisi kita melihat gugus pemikiran Islam yang inklusif, toleran dan pluralis. Di sini berjejer tokoh-tokoh seperti Nurcholis Majid, Gus Dur, Dawam Rahardjo, Muslim Abdul Rahman, Djohan Effendi, Masdar F. Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla, dan lain-lain. Spektrum pemikiran mereka mengandaikan nilai-nilai rasionalisme dan demokrasi di satu sisi dan nilai-nilai Islam di sisi lain adalah tidak bertentangan, alih-alih saling meniadakan. Nilai-nilai rasionalisme (demokrasi) dan nilai Islam adalah seiring sejalan. Tujuan gugus ini adalah mendesain munculnya "Islam-Demokratis".

Sedang di sisi lain, kini juga kita lihat gelombang besar kecenderungan konservatif. Di sini Islam cenderung terekspresikan secara formal dan kaku, menolak pluralisme dan tidak jarang tergelincir pada perilaku intoleransi/kekerasan. Pada kelompok garis kerasnya mereka menolak nilai-nilai rasionalisme dan demokrasi serta mengidealkan sistem kekhalifan. Barangkali saja kuantitas tokoh dan konstituen-nya sebenarnya tidak terlalu besar. Namun kekuatan ini jauh terorganisir dan seringkali terlihat memaksakan gagasan-gagasannya di tengah-tengah masyarakat luas.

Celakanya lagi sementara ini Negara/Pemerintah terkesan memberi angin kepada tendensi politik Islam konservatif ini. Kecenderungan ini setidaknya terlihat dari politik pembiaran Negara terhadap maraknya tindak kekerasan atas nama agama akhir-akhir ini. Juga kasat mata dari desain kebijakan SKB 3 Menteri dan dukungan Pusat terhadap kebijakan Daerah (Perda) yang melarang keberadaan paham Ahmadiyah. Selain itu, yang patut kita amati adalah aliran dana dari bujet Kementerian Agama yang nilainya sangat besar ini jatuh ke kelompok mana saja. Tahun 2012 nilai bujet Kementerian Agama mencapai 39,37 triliun; 2013 mencapai 41,73 triliun; dan 2014 mencapai 49.58 trilyun. Ini kita belum bicara dana hibah dari Negara-negara Timur Tengah.

Salah satu hipotesa yang muncul adalah, kini terjadi pergulatan sejarah membentuk wajah Islam di Indonesia. Apakah ia berwajah Islam substantif, inklusif, toleran, dan pluralis -- singkat kata "Islam demokratis" -- ataukah justru ia beralih wajah menjadi Islam konservatif, syariah minded, ekslusif, anti pluralisme dan bahkan sering tergelincir ke arah sikap intoleran dan mengedepankan kekerasan -- singkat kata "Islam Formal".

Pada titik ini peta politik kontemporer MC Ricklesf harus kita dudukkan dan baca kembali dalam konstelasi dan kontestasi persaingan antar grouping elit borjuasi nasional dalam memperebutkan kue pembangunan dan kesempatan mengakses modal internasional. Apa yang patut kita catat di sini, bahwa kelompok Islam Formal sebagai kekuatan modal pribumi belum berhasil mengambil porsi besar dan menggeser posisi dominan bisnis kaum etnis Tionghoa. Karena itu tidak aneh jika isu SARA (rasialisme) ala Orde Baru kini nampak tebal menggelayuti proses Pilpres, dan ke depan pun jelas masih potensial sebagai alat propaganda politik kelompok Islam Formal dalam mencari dukungan rakyat.

Kini, kubu Islam Demokratis berjajar di belakang Capres nomer dua; sedangkan kubu Islam Formal berderap di belakang Capres nomer satu. Tanggal 9 adalah penentuan masa depan Indonesia. Ini tidak saja soal kesinambungan demokrasi, melainkan juga pemenangan wajah Islam Demokratis yang rahmatan lil 'alamin. Silahkan dinilai sendiri dengan mata hati dan kearifan Nusantara. Indonesia bukanlah Tanah Arab; dan Islam bukanlah Arabisasi.

#SalamRevolusiHarmoni #Sala2Jari

*****

1) Kelemahannya bagan klasifikasi politik aliran tentu banyak. Salah satu yang paling mendasar ialah model ini tidak dibangun dari analisis struktur hubungan produksi atau modal, baik itu dalam ranah local/nasional maupun regional/global. Namun pendekatan ini juga memiliki kelebihannya. Setidaknya model ini berhasil memotret fenomena agregasi ekonomi-sosial-politik masyarakat Indonesia dalam bingkai atmosfir kebudayaan. Bagaimanapun, kebudayaan adalah entitas penting yang melatari sebuah tindakan politik. Masyarakat toh ternyata tidak melulu bergerak dalam kalkulasi dan artikulasi kepentingan ekonomi belaka. Oleh arena itu boleh dikata masyarakat Indonesia memiliki struktur mindset dan pola (pattern) rasionalitasnya sendiri dalam memaknai realitas politiknya sebagai buah dialektika kesejarahannya secara partikular.

2) http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/345812-5-anggaran-kementerian-paling-tebal-di-2013

3) http://setkab.go.id/berita-9891-inilah-10-kl-dengan-alokasi-anggaran-terbesar-dalam-rapbn-2014.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun